C&F 26 (Memaafkan)

573 53 3
                                    

4 tahun sudah berlalu, dan pastinya telah banyak hal yang terjadi dalam hidup seorang Maura Azalea Putri. Semuanya tak lagi sama, takdir berjalan dengan ketentuannya. Jika dulu, dia bisa berjalan ke sana ke mari dengan kedua kakinya dan dia selalu bisa berdiri di atas kakinya walau badai menerjang sekalipun.

Tetapi, setelah kecelakaan 4 tahun lalu. Perempuan cantik itu harus rela kehilangan fungsi normal kakinya. Dia tidak lagi bisa berjalan normal seperti kebanyakan orang dan dia tetap harus bersyukur karena masih bisa berdiri dengan bantuan tongkat, kadang pula kakinya akan terasa kaku sampai dia berganti menggunakan kursi roda.

Ara, nama panggilan perempuan itu. Kini harus puas dan banyak mensyukuri keadaannya saat ini. Kesempatan hidup yang diberikan Tuhan menjadi bukti bahwa Tuhannya masih teramat sayang padanya. Tuhan masih menginginkan dirinya bisa memperbaiki diri sebelum berakhir menghadap Sang pencipta. Dan Ara tak akan menyia-nyiakan itu semua, kan?

Memang, di awal dia terbangun dari koma yang memakan waktu selama 7 bulan itu sungguh membuatnya terpuruk. Dia jelas merutuki nasibnya, bahkan berpikir lebih baik mati sekalian daripada hidup dengan keadaan kaki yang tak bisa digerakan. Dia menjadi manusia unfungsi yang hanya bisa menyusahkan orang-orang di sekitarnya.

4 bulan awal terapi adalah hari-hari mentalnya ditimpa. Dia tidak hanya harus menghadapi kegiatan terapi yang menyita tenaga dan kadang menyakitkan. Tapi juga menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada tubuhnya. Kondisi tubuh yang belum pulih dan mental yang jatuh sering kali membuatnya berpikir untuk menyerah saja.

Tetapi sekali lagi, dibalik musibah yang dititipkan Tuhan kepada hambanya akan selalu ada hal-hal baik yang dia terima. Keputusan untuk mengikuti terapi di salah satu rumah sakit Singapura contohnya.

Di sana, kehidupan baru Ara di mulai. Sedikit demi sedikit dia belajar menerima nasibnya, karena nyatanya tak hanya dia sendiri yang mengalami hal menyedikan di dunia ini. Bahkan, ada banyak orang yang jauh lebih sakit daripadanya.

Setahun pertama dia menjalani terapi di Singapura, dia tidak hanya menjadi semakin dekat dengan sang pencipta. Tapi juga dengan keluarganya. Bunda yang tak pernah pergi meninggalkannya, Azel yang selalu mendahulukan kepentingannya, dan Ayah yang telah lama hilang kini kembali memeluknya hangat.

Ara tak bisa jika tak tersenyum saat mengingat apa yang telah dilaluinya sejauh ini. Dia bersyukur bahwa karena kondisinya, Tuhan melunakan hatinya untuk memaafkan dan menerima Ayahnya lagi. Ara juga sadar, tidak seharusnya dia marah terlalu lama di saat bundanya bisa menerima dengan begitu tulus. Bahkan jika dirasakan, kini dia jauh lebih bahagia dengan menerima perhatian dari sosok ibu kedua yang ternyata selalu ikut mengkhawatirkannya. Bukankah Tuhan terlalu sayang padanya?

***

"Ra, sudah siap? Mama masuk ya?"

Ara menoleh pada pintu kamar yang terbuka, lalu masuklah sosok wanita paruh baya berjilbab lebar yang sudah siap untuk mengantarnya terapi.

"Loh, kok masih di atas kasur. Belum siap-siap ya?" Ara hanya meringis memandang istri kedua ayahnya.

Mama Mila adalah panggilan yang disematkan Ara pada wanita itu kini. Wanita itu menghampiri Ara, duduk di pinggi ranjang dan menatap putri tirinya khawatir.

"Jangan bilang kakinya sakit...." lagi-lagi Ara hanya meringis sambil menekan pelan pahanya.

"Kenapa gak tekan belnya sih, Ra. Azel bikin benda itu buat kamu kalo kesusahan bisa minta tolong. Atau kalo gak mau, kamu teriak aja yang keras biar mama dan ayah bisa masuk daritadi... stop ya! Jangan nyengir aja. Kamu iih!"

Ara tidak lagi merasa sakit hati atau balik marah saat ibu tirinya ini memarahinya. Selama hampir 3 tahunan ini, dia cukup bisa memahami watak sang ibu.

Code & Food Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang