Tujuh

5.5K 554 17
                                    

Kecanggungan mengambang di udara seperti setan jahat yang menari-nari. Tidak ada yang mulai membuka suara. Bukan hal yang mudah menerima kenyataan terkunci bersama orang-orang asing di tempat asing pula. Lana memperhatikan wajah-wajah di depannya, tegang dan ketakutan, perasaan sama yang ada di dalam hatinya. Sebenarnya, sudah pekerjaannya berada di antara orang asing. Lana menikmatinya. Namun, dia tidak pernah berada satu rumah dengan mereka berhari-hari atau entah sampai kapan. Yang bisa direncanakannya cuma masuk kamar, melakukan yang bisa dilakukannya, dan persetan dengan semua yang terjadi pada mereka. Menurutnya, kalau semua orang menerapkan hal yang sama, mereka tentu bisa bertahan lama di rumah itu.

Beberapa orang memainkan gelas anggur yang berisi setengah atau hampir habis. All menambahkan lagi anggur di gelasnya dengan santai. Sementara Zac yang terlihat tidak berniat untuk meminum anggurnya, hanya memutar-mutar gelas itu.

Seperti Zac, Lana sama sekali tidak berniat menyentuh es krimnya. Ia hanya memainkan es krim yang hampir mencair dengan sendok. Perutnya terasa penuh. Ia kehilangan selera makan. Jika bisa, dia sangat ingin muntah.

Gadis remaja berkulit cokelat memakan es krim dengan lahap. Gadis itu meninggalkan suara berdecak yang menjijikan setiap menjilati sendok es krimnya. Tidak ada satu orang pun yang mengingatkan untuk berhenti. Mungkin karena itu satu-satunya suara yang menandakan masih ada kehidupan di ruang serba putih ini.

Si gadis latin membelit pergelangan tangannya sendiri dengan perban. Lalu menawarkan perawatan kepada perempuan berkulit hitam di sampingnya. Perempuan itu mengangguk dengan senang. Sementara laki-laki berkulit pucat melihat mereka dengan rasa ingin tahu.

"Kupikir kita harus saling mengenal," ucap Lana pelan, membuka dialog yang ia harap hanya pengenalan, lalu selesai, semua orang diam lagi seperti tadi.

Semua mata tertuju kepadanya sekarang. Lana menelan ludah.

Jangan bandingkan kondisi ini dengan pekerjaannya di Darling atau Saturn. Saat bekerja, dia berusaha melupakan siapa yang ada di depannya. Kini, dia berada di tengah sekelompok manusia yang memperhatikannya, menunggu kata-kata lanjutannya.

"Uhm... paling tidak, agar kuta bisa saling memanggil satu sama lain jika membutuhkan atau... hei, kita tinggal di satu rumah, kan?"

"Kau benar," ucap gadis latin sambil menggoyangkan segulung perban di depan wajahnya. "Aku akan mulai. Namaku Silvia Grazie. Mahasiswa MIT. 21 tahun. Aku dari Mexico. Yang terbaik. Aku mendapatkan beasiswa penuh di MIT."

"Wow, smart ass latina, heh." All mengedipkan matanya. Silvia terlihat lebih percaya diri. Ia memiringkan kepalanya kepada All dengan gaya yang anggun. "Sulit mencari latina seksi dengan otak menawan."

Gadis itu tertawa. "Tidak. Aku hanya... sekadar beruntung."

Lana menelan ludah dengan susah payah. Menyebutkan pekerjaan bukan bagian dari rencana perkenalannya.

"All Brown. Businessman. Yah, katakanlah uang yang merindukanku walau sudah kusuruh mengantre." All mengucapkannya dengan penuh kebanggaan.

Lana mengingatkan diri sendiri, kesuksesan adalah kebanggaan, bukan kesombongan. Laki-laki memang suka membanggakan sesuatu yang mati-matian diperjuangkannya. Dia senang melihat laki-laki pucat dengan wajah bulat itu menatap All. Kekaguman terlihat di mata birunya, sebuah ekspresi jujur tanpa kata.

"Bagaimana denganmu, Miss Blonde?" All menatap langsung kepada Lana, membuatnya gelabakan.

"Aku, eh... Svetlana Orlov. Panggil saja Lana."

"Apa pekerjaanmu, 'panggil saja Lana'?" Mata cokelat All menatap langsung ke matanya seperti sedang berbicara berdua saja dengannya.

Lana hampir tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Bukan hanya sikap intens All yang membuatnya merasa canggung, tapi juga memikirkan apa yang mungkin dipikirkan lelaki itu setelah mengetahui pekerjaan Lana.

The Great Escape; Sweet Pea (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang