Enam

11.6K 1K 59
                                    

Hai Semua!

Maaf sekali cerita yang ini lama banget saya update.

Sekarang saya masih konsen dengan Savanna. Semoga setelah Savanna selesai, saya bisa update semua cerita di akun Wattpad ini, yah.

Hari ini untuk syukuran pencapaian 9K Follower, saya update The Great Escape; Sweet Pea ini untuk kalian. Selain itu, ada beberapa cerita lain yang juga saya update. Silakan dicek di akun Wattpad saya, yah. Siapa tahu kalian suka.

Terima kasih banyak.

Love,

Honey Dee

***

Lana membuka pintu-pintu kabinet yang tadi diperiksanya. Ia mencari benda seperti bubuk kopi atau teh. Tapi tidak juga ia dapatkan. Hanya soda dan minuman beralkohol yang ada di situ. Dua minuman yang sangat tidak mungkin digunakan dalam waktu seperti ini.

Dia memandangi deret botol dan kaleng minuman dengan kesal. Siapapun yang meletakkan minuman itu pasti ingin menghancurkan mereka.

"Bagus. Soda bisa membuat perut jadi panas dan alkohol bisa membuat orang jadi gila. Apa kalian memang ingin kami mati keracunan di sini? Apa tidak ada sesuatu yang berguna?" gerutunya sambil membongkar persediaan makanan di lemari itu. Dia mulai curiga mereka tidak ditempatkan di situ untuk waktu lama. Tidak mungkin mereka bisa bertahan seminggu dengan persediaan makanan dan minuman yang hanya sebanyak itu.

"Wow, ini dapur paling keren yang pernah kulihat."

Lana berpaling melihat All berdiri di belakangnya mengamati perabotan di dapur. Ia mengangguk setuju. Dapur itu sangat bersih, modern dan rapi. Semua barang yang ada di tempat ini memiliki kualitas yang bagus. Sepertinya, uang bukan masalah bagi pemilik tempat ini.

Ada jajaran pisau yang disematkan dalam kotak tertutup, kompor listrik induksi dan microwave. Piring, gelas dan sendok dirapikan di dalam laci tersendiri.

"Mungkin pemilik rumah ini OCD pada kebersihan?" Lana tersenyum kepada All.

All mengangkat alis. "Kau tahu apa itu OCD?"

Ia tergelak mendengar kalimatnya sendiri sebelum kemudian buru-buru membuka mulutnya saat melihat perubahan ekspresi Lana. "Maaf, tapi tidak semua gadis dengan rambut pirang ber-highlight merah muda mengerti dengan benar tentang OCD."

"Yah, mungkin kau saja yang tidak tahu kalau cat rambut tidak mempengaruhi kecerdasan." Lana mengangkat alis. Ia sudah terbiasa dilecehkan. Orang selalu mengaitkan warna rambut dan profesinya dengan kecenderungan memiliki tingkat kecerdasan rendah.

All tersenyum lebar kepadanya. "Masa? Apa kamu bisa menjelaskan padaku apa yang kamu tahu? Sedikit saja." Al mendekatinya. Lana mundur. Jarak di antara mereka tipis sekali. Lana tidak berkedip atau mengalihkan perhatian dari mata All.

"Kurasa percuma," jawab Lana dengan wajah serius. "Penjelasanku tidak akan bisa memenuhi otakmu yang penuh dengan hal-hal jorok."

laki-laki itu tertawa pelan, lebih pada mengejek.

Setiap gerakan lelaki itu menunjukkan keangkuhan. Ucapannya tajam dan terdengar getir. Sebenarnya tanpa perlu menyombongkan diri, orang bisa menilai bahwa All adalah orang kaya. Wajahnya yang terawat menunjukan kematangan dan kecerdasan. Lana bisa membayangkan tubuh atletis All terbalut pakaian resmi yang berkelas. Menawan.

Namun mulut All menyemburkan kata lebih banyak daripada yang seharusnya.

"Kalau memang punya sedikit otak, kau bisa membantuku mencari bubuk kopi atau teh." Lana mencoba untuk tidak terlalu berpikir soal laki-laki ini. "Aku tidak bisa menemukannya."

"Karena memang hanya itu yang kau butuhkan," jawab All sambil membuka sebuah pintu kabinet. Wajahnya menjadi sangat cerah. "Siapapun yang tinggal di tempat ini pasti memiliki selera yang luar biasa."

All menarik sebuah botol anggur mahal.

Lana mengernyitkan dahi. Alkohol membuat Lana mengingat bau ayahnya dan semua laki-laki di Darling. Hal yang paling memuakkan. Tidak ada yang bisa memaksanya minum. Tidak di Darling atau di tempat ini. Ia lebih memilih air putih.

"Ada anak kecil di sini." Lana menggeleng.

"Biarkan anak itu memakan es krim atau apa yang kau temukan di kulkas, Cantik." All membawa botol anggurnya dan mencari gelas-gelas anggur.

Lana mengambil nafas dalam.

Ia membuka kulkas dan menemukan beberapa mangkuk es krim di bagian pembeku. Kotak-kotak es krim itu tidak sekeras yang dibayangkannya. Es krim itu baru diletakan di situ tidak lama ini. Berarti ini adalah rumah yang terawat dengan baik. Semua bahan makanan di tempat ini adalah bahan makanan baru.

Ketika membagi es krim ke dalam mangkok untuk gadis remaja itu dan untuknya sendiri, Lana berpikir bahwa tempat ini telah disediakan dengan sangat profesional. Persiapan yang dilakukan terorganisir dengan baik. Pencahayaan hingga pengaturan suhunya sangat baik. Rasanya tidak mungkin kalau mereka dipilih secara acak dan dimasukkan ke tempat secara tidak sengaja pula.

"Kenapa?" tanya Silvia dengan alis berkerut.

Lana menggeleng. "Tidak. Aku cuma ... pusing."

Silvia tertawa. "Efek biusnya mungkin. Aku juga merasa pusing, kok."

Lana berusaha tersenyum untuk membalas keramahan Silvia. Namun, yang nampak di wajahnya hanya seringai canggung yang sama sekali tidak manis.

Semua orang sudah duduk di meja makan dengan tenang. All sudah membagikan gelas berisi anggur. Lana menggeleng saat All mengacungkan botol anggur kepadanya. Lelaki itu terkekeh sebelum meletakan botol anggur ke tengah meja.

Semua orang terlihat santai menikmati minuman di depannya. Mereka semua seperti teman lama yang bertemu lagi dalam reuni aneh. Mereka minum dalam diam seolah kehabisan bahan untuk dibicarakan.

lana memejamkan mata. 'Semua akan baik-baik saja. Kami akan menghadapi semua ini dengan baik,' ucapnya pada dirinya sendiri.

Dia tahu, kalau apa yang ada di depannya hanyalah permulaan. Dia sendiri tidak punya ide siapa orang-orang yang bersamanya di dalam ruangan ini. Orang-orang asing yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Orang-orang yang seharusnya bsia membuatnya menarik diri dan memilih sendirian.

Tapi bukan berarti akan berakhir buruk, bukan?

Jika selama ini Lana selalu berusaha menghindar untuk bersosialisasi, mungkin ini saatnya dia beradaptasi.

Ia memandangi satu persatu teman-teman barunya lagi. Normal. Mereka normal. Mereka hanya manusia biasa. Sama sepertinya. Tidak ada alasan untuknya merasa takut. Mereka sama dengannya, orang tidak beruntung yang dengan kesialan mengerikan terjebak di tempat ini. Lana sadar mereka semua harus terus bersama-sama. Orang yang melakukan ini pada mereka pasti menginginkan sesuatu yang buruk. Hal buruk itu tidak akan terjadi kalau mereka semua bersama-sama.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya All. "Kau memperhatikan kami semua. Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak ada." Lana mengangkat bahu. "Aku cuma ingin berusaha mengenali teman-teman serumahku. Entah sampai kapan aku ada di tempat ini, kan?"

Matanya menemukan mata biru Zac yang juga menatapnya. Zac tidak tersenyum. Dia cuma mengangkat alis. Namun, entah kenapa seketika dia merasa tenang. Dia bisa merasakan kedamaian yang sedari tadi dirindukannya. Kedamaian yang membuatnya berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.

***


The Great Escape; Sweet Pea (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang