Empat

10.6K 959 19
                                    

Mereka semua berdiri di kamar lelaki berkulit pucat. Tujuh orang dengan kebingungan yang sama. Ketakutan yang sama. Saling asing, mereka mencuri pandang satu sama lain dengan curiga dan waspada. Mata kelabu Lana yang terbiasa menilai orang dari penampilan mencoba menelaah satu persatu teman barunya. Atau, bisa jadi musuh barunya.

Bahkan Zac yang bertubuh besar terlihat seperti tikus dalam perangkap. Dia menatap sudut-sudut kamar dengan bingung dan berkali-kali menoleh pada pintu seolah akan ada sesuatu yang menyerang.

Laki-laki berkulit pucat yang terus-terusan mengeluarkan bunyi keluhan mengangkat tangan. Dia terlihat seperti anak sekolah yang ketakutan. "Ada yang tahu kita di mana?" Matanya menatap bingung. Sayangnya, semua orang di kamar itu juga sama bingungnya. Mereka menggeleng dan menunduk.

Zac mengepalkan tangannya. "Kita harus cari tahu. Siapapun yang melakukan ini akan mati sebentar lagi," ucap Zac penuh percaya diri. Mata birunya menatap Laki-laki pucat itu dengan mantap, lalu menatap Lana yang seketika merasa dingin. Ada sesuatu di dalam mata itu yang membuat udara di sekitarnya terasa berat.

All menahan tawa sampai terdengar bunyi seperti tersedak di tenggorokannya. "Maaf," ucapnya singkat. "Walau tidak tahu di mana kita, aku tahu kalau kita aman. Ada gladiator di sini." Ucapan All pasti dimaksudkan untuk mengejek. Wajahnya sama sekali tidak kagum. Sebaliknya, wajahnya terlihat merendahkan. Lana hampir berpikir Zac akan meninju wajah All. Tapi, laki-laki besar itu terlihat tidak terprovokasi. Dia malah nampak seperti tidak mendengar ucapan All sama sekali.

"Sebentar," ucap gadis Latin sambil menatap ke semua orang yang ada di tempat itu. "Apapun yang kita lakukan di sini, kupikir kita harus tahu tempat apa ini. Jujur saja. Menurutku ini aneh. Siapa yang menculik orang dan meletakkan di tempat sebagus ini tanpa penjagaan?" Gadis Latin itu terlihat tenang. Tapi, matanya memancarkan kegelisahan. Lana ingin tersenyum pada gadis itu, sekedar menguatkan. Pengendalian diri yang bagus. Gadis itu mungkin seorang yang berpendidikan.

"Bagaimana caranya?" Laki-laki pucat itu berdiri. Ternyata dia tidak sependek perkiraan Lana. Laki-laki itu terlihat cukup berwibawa jika tidak terus-terusan mengeluh atau berdeacak gelisah. Bahkan, dibandingkan anak remaja kulit cokelat yang berdiri di samping lana, laki-laki itu terlihat seperti penakut payah.

"Ayo kita turun saja. Kita lihat seluruh tempat ini. Siapa tahu ada yang bisa kita gunakan untuk membela diri." Perempuan kulit hitam itu mengucapkan kalimatnya dengan yakin.

"Dari siapa memangnya?" tanya gadis Latin sambil mengerutkan alis.

Perempuan kulit hitam itu menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi itu lebih baik daripada berdiri saja, kan?"

"Kau benar," balas Zac cepat. "Menjengkelkan hanya berdiri saja seperti ini. Siapa mau ikut?" Zac menelengkan kepala ke arah pintu. Semua orang saling berpandangan.

Mereka bisa saja memilih terus berada di kamar dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi, melakukan sesuatu bersama-sama sepertinya lebih menjanjikan. Kalau toh terjadi hal yang tidak diinginkan, Zac dan All terlihat berkompeten untuk menghajar orang.

"Aku ikut," ucap Lana cepat sambil mendekati Zac.

Tanpa berbicara, perempuan kulit hitam itu berdiri di antara Lana dan Zac, diikuti orang-orang lainnya. Orang-orang memilik menyelipkan diri di belakang Zac. Tubuh besar Zac cukup aman untuk dijadikan perlindungan. Mereka juga tidak ingin berada di barisan paling belakang yang rawan serangan. Lana menjadi orang paling terakhir dalam barisan. Zac menatapnya. Bibir Zac tertarik ke samping. Bukan senyuman, hanya garis datar yang menunjukkan simpati. Namun, Gadis Remaja itu berjalan pelan ke samping Lana, menjadikan dirinya orang terakhir dalam barisan.

"Ayolah! Di saat seperti ini kalian malah main detektif-detektifan? Kenapa tidak menunggu di kamar saja?" All mengeluh keras-keras.

"Kau bisa melakukannya sendiri. Kami tidak akan memaksamu," ucap Gadis Latin itu dengan logat kental, khas Gadis Mexico yang sedang marah.

"Astaga, kau juga memusuhiku, Cantik?" All mengedipkan mata pada Gadis Latin itu. "Jangan ikut-ikutan mereka. Aku tidak seburuk itu," ucapnya lagi sambil berjalan di barisan paling belakang.

Lana menghela napas panjang. Laki-laki itu tidak sebodoh dan sesantai yang dia kira. All penuh perhitungan. Dia tahu kalau beberapa orang di tempat ini tidak menyukai sikapnya. Bagus. Lana tidak perlu memakinya. Orang lain pasti akan menghardik-atau memukuli-laki-laki itu untuknya.

"Tidak. Tidak begini," ucap All lagi. Semua orang berpaling padanya. All menggeser anak remaja kulit cokelat ke sampingnya. "Kau harus ada di

Mereka menyusuri koridor sempit itu satu persatu. Lana berada di tengah, di depannya ada perempuan kulit hitam yang berkali-kali menoleh ke belakang, entah untuk apa. Di belakangnya, All selalu terlihat menyunggingkan senyum yang sangat akrab untuk Lana, senyum menggoda. Lana menelan ludah. Dia ingin menjerit saat laki-laki itu menyentuh pinggulnya. Kalau bukan karena situasinya setegang ini, Lana pasti sudah menampar All sekeras mungkin.

Tangan All menyentuh bahunya. Lana tidak tahan. Dia berbalik dan mendesis penuh ancaman. All tersenyum.

"Santai! Aku cuma ingin meyakinkan kalau kau aman. Kau tidak perlu bolak-balik melihat ke belakang," ucapnya dengan ekspresi yang membuat Lana ingin meludahi wajahnya.

"Awas!" desis Lana sambil mengacungkan telunjuk penuh peringatan. Tapi, All hanya mengangkat bahu. Lana melihat ke depan lagi dan menggeleng keras. Dia menahan diri untuk tidak menendang selangkangan laki-laki itu. Dia meyakinkan diri kalau laki-laki itu bukan masalah besar sekarang. Mungkin saja seseorang yang lebih jahat mengancam nyawanya di depan sana.

Lana kembali berkonsentrasi untuk melanjutkan menuruni tangga. Segalanya serba putih. Kotoran sekecil apapun akan terlihat mencolok di sini. Dinding-dinding bercat putih itu juga sangat dingin. Terlalu dingin. Lana hampir merasa giginya bergemeletuk, entah karena dingin atau ketakutan yang mulai merasuk.

"Apa kita tidak punya senjata untuk melawan?" Suara laki-laki pucat itu gemetar. Bibir bawahnya juga ikut gemetar.

"Apa gunanya senjata kalau kau tidak punya nyali untuk menggunakannya?" All mengejek lagi. "Kita punya Hulk di sini. Dia bisa melawan apa saja. Kau tahu?" All menyunggingkan senyum seolah apa yang dikatakannya telah membuatnya puas.

Perempuan berkulit hitam mendesis memperingatkan mereka untuk diam. "Berapa sebenarnya umurmu?"

All terkekeh. Suara tawanya terdengar persis di belakang telinga Lana.

"Sudah cukup umur untuk menyenangkanmu, Sayang," jawab All santai. "Maksudku, kamu," bisiknya tepat di telinga Lana.

Lana memejamkan mata. Seumur hidup, dia sudah mendapat banyak perlakuan buruk. Pelecehan demi pelecehan sudah pernah dihadapinya. Tapi, kali ini keterlaluan. Di saat seperti ini laki-laki bejat itu berani melakukannya di depan orang-orang. Lana merutuk dalam hati. Laki-laki itu jelas tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Laki-laki itu tidak tahu dengan perempuan macam apa dia berurusan.

Lana menghela napas panjang, lalu menghitung sampai sepuluh. Dia harus menahan diri. Tidak. Dia tidak boleh membunuh laki-laki itu di sini.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Great Escape; Sweet Pea (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang