“Gue cuma lagi kangen sama sahabat gue.”
Fei memiringkan kepalanya, menautkan kedua alisnya.
“Lo kangen sama gue?” tanyanya polos.
Azka mengangguk. “Gue kangen banget sama lo,” katanya sambil mencubit kedua pipi menggemaskan Fei.
“Tumben amat lo ngangenin gue, ada apa?” tanya Fei.
“Lah, emang kangen sama sahabat sendiri itu gak boleh?” Azka balas bertanya.
Fei menyengir, manis sekali. “Hehe, boleh kok. Cuma aneh aja lo tiba-tiba ngangenin gue.”
Azka berdiri diikuti Fei.
“Jalan yuk,” ajak Azka.
“Lah, kemana?”
“Kemana aja, yuk.” Azka meraih pergelangan tangan Fei, menariknya keluar.
Fei memegang tangan Azka, “Ka, tunggu bentar, gue ganti baju dulu.”
“Pelan-pelan aja kali makan es krimnya,” tegur Azka ketika melihat Fei yang menikmati es krim coklat miliknya seperti bocah, benar-benar belepotan dikanan dan kiri pipinya.
Fei menyengir, mengambil selembar tisu dari tas nya lalu menyapukannya dipipinya.
“Lo inget gak, dulu itu kita sering banget main kesini, berdua ...” Azka terlihat seperti menerawang, mengingat masa kecil mereka, “lo itu waktu kecil lucu banget, imut juga,” katanya lagi, “cuma sayang, orang-orang gak ngeliat lo sepenuhnya,” ada nada kekecewaan di akhir kalimatnya.
Fei menoleh, mendengarkan tiap kalimat Azka dengan seksama.
Memang benar, ia dulu dan sekarang sangat berbeda.
Fei yang ceria berubah menjadi pemurung.
Fei yang ramah berubah menjadi Fei yang sarkastis.
Tidak pedulian.
Tapi setiap orang pasti punya alasan atau hal yang membuat mereka berubah, bukan? Sama halnya dengan Fei. Dan alasannya berubah itu karena Mei.
Mei adalah cahayanya, bintangnya, panutannya. Tapi Mei sudah pergi lebih dulu dengan cara yang kejam. Dan itulah yang membuat Fei berubah. Ia tidak ingin sama seperti Mei yang berakhir seperti itu. Fei harus berbeda.
“Tapi gue gak peduli sama mereka yang gak ngeliat gue sepenuhnya,” kata Fei dalam, “selama masih ada lo yang ngeliat gue sepenuhnya sebagai Fei, sebagai Afeela Eriska, gue gak peduli sama mereka yang gak ngeliat gue,” imbuhnya.
“Lo jangan khawatir, selamanya gue akan selalu liat lo sebagai Fei, sebagai Afeela Eriska,” Azka menarik Fei dalam pelukannya, pelukan persahabatan yang rasanya sangat sakit didadanya.
“Jangan pergi, Azka. Gue gak bisa hidup tanpa lo,” kata Fei sesenggukan didalam pelukan Azka, “gue janji bakal berubah, gak bakal nyusahin lo lagi. Gue janji balik lagi jadi Afeela Eriska yang dulu lagi, yang rajin, ceria, dan penuh semangat kayak dulu lagi, karena itu jangan pernah pergi dari sisi gue, gue lebih baik mati daripada gak ada lo.”
“Sssshhht, lo gak boleh bilang gitu, Fei,” Azka mengusap-usap punggung Fei.
Fei yang kian terisak-isak memeluk Azka kian erat. Ia benar-benar takut untuk kehilangan sang sahabat. Ia tidak mau selamanya menjadi penerima segala kebaikan Azka, karena itu ia harus kembali menjadi Fei yang dulu agar ia juga bisa memberi dan tidak hanya menerima.
“Gue gak mau kehilangan lo, Ka.”
Ada perasaan senang yang juga bercampur sedih didalam hati Azka.
Ternyata sudah sedalam itu perasaan sayang Fei kepadanya, sudah sampai ke taraf untuk tak mau kehilangan. Ia juga merasa seperti itu kepada Fei. Ia sangat menyayangi Fei.
Tapi disisi lainnya ia merasa sedih, lebih tepatnya kecewa kepada dirinya sendiri yang entah kenapa merasa kecewa. Ia sendiri pun tidak mengerti alasannya untuk merasa kecewa.
Ia merasa memiliki sekaligus juga kehilangan. Tapi kehilangan apa, Azka sendiri awalnya tidak mengetahuinya.
Yang pasti hanyalah tentang perasaan sayangnya kepada Fei sudah melebihi batas yang seharusnya.
Dan sekarang ia sudah menyadari perasaannya!
TBC ...
---
Mager beneran.
Salam Ranisa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Change My Lazy Girl (Tamat)
Krótkie OpowiadaniaHanya tentang Fei, cewek super pemalas yang sekarang ingin sembuh dari rasa malasnya. Lalu bagaimana cara Fei untuk sembuh dari rasa malas jika malas itu sudah mendarah daging dengannya? "Fei, Lo nggak boleh terus-terusan males kek gini." "Seandainy...