bab 29

3.6K 376 2
                                    

Angga kaget. Dia melihat Gilang dan Rino yang sekarang saling pandang.

Namun, Gilang terlihat kalem saja. Dia tersenyum lalu menyapa Rino. "Hai. Rino, kan? Masih inget gue?" tanya Gilang dengan suara beratnya.

"Oh. Inget, sih. Gilang, kan?" balas Rino tanpa tersenyum. Mana mungkin dia lupa cowok bertindik di telinga dengan tato elang di lengan kanannya itu.

Gilang tetap tersenyum ringan. Dia lalu berkata, "Sori, gue nggak bermaksud nguping tadi. Cuman kedengeran aja omongan lo sama Angga. Gue nggak ada urusan juga sama lo."

Kedua mata Rino melebar. Dia bahkan tidak punya energi untuk merasa kesal pada Gilang. Angga terlihat sedikit cemas, memperhatikan dua cowok di hadapannya itu. Lalu Gilang melanjutkan bicara kepada Rino,

"Tapi, gue cuma mau bilang, kalo lo bikin orang patah hati, itu udah. Selesai ceritanya. Mungkin hati yang patah bisa disambungin lagi. Tapi, perasaannya nggak bakalan sama. Angga bisa maafin lo, tapi di hatinya ada bekas luka yang nggak bisa ilang, No."

Kata-kata Gilang terasa seperti petir yang menyambar. Gilang mengucapkan kenyataan yang sebenarnya. Dia bukan bermaksud memicu drama, atau menyalahkan Rino. Gilang hanya mengungkapkan realita.

Rino merasakan emosi yang sangat campur aduk. Dia kesal terhadap Gilang. Namun, rasanya dia tidak berhak kesal juga. Bukankah apa yang dikatakan Gilang itu benar?

Lagipula, Rino juga sadar dia sudah membuat Angga terluka. Bagaimanapun juga, Angga cuma manusia biasa. Dia punya hati. Sesantai-santainya Angga, semestinya Rino bisa bersikap lebih baik dari apa yang sudah dia lakukan selama ini.

Setelah detik-detik berlalu dalam hening, Angga akhirnya bersuara, "Rino, lo lagi shift, kan? Lo balik aja biar kerjaan lo cepet kelar. Gue juga mau pulang."

"Angga."

"Iya. Udah, gapapa. Oh, maafin Gilang, ya, dia sukanya asal ngomong aja, ikutan urusan orang," kata Angga kalem tanpa menoleh pada Gilang.

Gilang mengerutkan kening sambil memandangi Angga dengan ekspresi tidak percaya.

"Gue duluan, No," kata Angga sambil melambaikan tangannya dan tersenyum tipis. Angga pun berbalik pergi bersama Gilang, meninggalkan Rino yang masih mematung di situ.

***

Sepulang kerja, Rino merebahkan diri di kasurnya sambil merenung habis-habisan. Dia memikirkan hubungannya dengan Angga.

Rino masih bingung karena bagaimanapun juga, ini pertama kalinya dia terlibat dalam hubungan romantis dengan cowok.

Anehnya, dia yang biasanya tidak mau terikat oleh rasa sayang, malah kali ini merasa ada yang tidak lengkap. Itu karena tidak ada status apa-apa antara dia dan Angga.

Tapi, bukankah itu salahnya juga? Meskipun waktu itu, Angga yang menolak berstatus apa-apa, dan Rino juga menyanggupinya.

Sayangnya, belakangan Rino yang bersikap tidak jelas dengan menjauhi Angga begitu saja. Itu jahat, sih.

Sudah begitu, sekarang Angga memutuskan untuk benar-benar menyerah akan hubungannya dengan Rino. Angga. Menyerah. Pikiran tentang hal tersebut serasa mengoyak batin Rino.

Lalu, apa yang akan terjadi setelah ini, jika Angga menyerah? Tapi, bukannya Rino yang menyerah duluan?

"Duh, fuck. Bisa pecah kepala gue," gumam Rino sambil mengumpat.

Rino merasa setelah mendengar semua ucapan jujur Angga, pikiran dan perasaannya berubah seratus delapan puluh derajat.

Dia tidak mau kalau Angga jauh darinya. Inginnya Rino, Angga selalu ada di dekatnya.

Tapi, bagaimana kalau suatu hari nanti Rino harus menikah dengan cewek, dan membangun keluarga seperti yang diidamkan orang tuanya? Lalu Angga? Apakah Angga akan kembali bersama Gilang, cowok kurang ajar itu?

Semua pemikiran ini rasanya menyesakkan bagi Rino.

"Tapi---"

Tiba-tiba saja Rino teringat kata-kata Angga. Ucapan Angga dulu itu, setelah memberitahu Rino kalau Kiki sudah punya cowok. Waktu mereka baru awal-awal kenal.

Gue serius, No. Lo sebaiknya hidup di masa sekarang aja. Jangan kebawa masa lalu. Jangan takut sama masa depan.

Sial. Angga benar.

***

Di kantor, Rino sudah kembali hangat pada Angga. Dia selalu menyapa Angga saat berpapasan. Kadang, Rino mengajak Angga makan siang. Angga mengiyakan saja semuanya.

Angga balas menyapa Rino, mengobrol ringan dengannya, makan siang bareng.

Tapi, sekarang Angga sudah tidak seperti dulu. Dia benar-benar menjadi teman untuk Rino. Sekadar teman yang kenal saja.

Meskipun Angga tersenyum dan bahkan kadang ikut tertawa, Rino tidak bisa lagi merasakan ikatan emosional yang biasanya dia rasakan dulu, saat sedang berdua bersama Angga.

Rino pun sadar, Angga sudah menyerah. Titik.

Angga memang tidak bersikap dingin kepada Rino. Namun, dia juga tidak dekat dengan Rino. Angga tetap ramah, namun Angga yang sekarang bukanlah Angga yang dulu.

Ini membuat Rino merasa hampa. Dia sungguh frustrasi.

***

Saat weekend Rino mampir ke rumah Erik. Jelaslah apa yang mau diobrolkannya. Apalagi kalau bukan soal Angga.

Rino dan Erik sedang duduk-duduk di kursi teras depan kamar Erik yang ada di lantai dua. Barusan, Rino sudah bercerita tentang semuanya.

Mulai dari ayahnya yang sudah memberi kode keras agar Rino menikah, sampai terakhir kali dia bertemu Angga dan Gilang, serta bagaimana sikap Angga benar-benar berubah sekarang.

"Gue jomblo, lo curhatin masalah percintaan homo. Temen curhat lo cuma gue, ya?" gerutu Erik.

"Lo, kan, udah biasa jadi tempat sampah gue, Rik. Tempat curhat maksudnya," gumam Rino.

"Gue orangnya setia banget, kan. Bertepuk sebelah tangan sama Lalisa Manoban aja, gue masih tetep setia sama dia," balas Erik.

Rino mengerutkan kening. "Tolong, Rik. Udah lo halunya ntar aja. Lagi nggak mood gue."

Mendengar itu, Erik hanya mendengus dan Rino terlihat menunjukkan ekspresi putus asa.

Tadi, Erik sudah mendengarkan semuanya dengan seksama, kok. Akhirnya, kini Erik serius menanggapinya,

"No, lo itu orang dewasa. Oke? Dari situ aja, mestinya lo paham maksud gue. Lo berhak memutuskan apa aja buat hidup lo sendiri. Lo juga kudu yakin sama keputusan lo. Siap sama konsekuensinya. Kalo soal bokap lo," Erik diam sebentar, lalu melanjutkan,

"yang namanya orang tua, itu pasti punya keinginan sendiri. Mereka pengennya apa, pasti ada aja. Dan seringnya itu emang nggak sama, sama keinginan anaknya. Cuman ujung-ujungnya mereka biasanya ya iya aja."

Rino mendengarkan setiap kata-kata yang Erik ucapkan. Dia lalu memandangi langit yang cerah dengan banyak awan mengapung. Di kompleks perumahan Erik, suasananya tenang pula.

"Lagian, ini lo mungkin bosen dengernya. Tapi sebelum lo ngomong perasaan lo ke Angga, dan sebelum lo ngelarin masalah lo sama dia, gue tanya. Lo udah yakin beneran mau sama Angga? Pengen sama Angga? Udah fix?" tanya Erik.

Itu membuat Rino menoleh kepada Erik sambil mengangguk pasrah. Namun dia tidak berbicara apa-apa. Erik menghela napas, sambil memperhatikan ekspresi wajah Rino yang terlihat menyedihkan.

"Lo, Rino Rasya, kalo lo berani jatuh cinta, itu berarti lo juga mesti berani terluka karena cinta."

Ouch.

Rasanya hal yang diucapkan Erik itu menyadarkan Rino begitu saja. Dia merasa tertampar.

anggrek biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang