Repub tanpa edit 30/8/20
13/11/20
23/6/21"Kamu sudah makan?" Tanya Satria setelah Malika mendengar bunyi ketukan satu kali dan pintu ruangannya dibuka.
Malika tidak berniat menjawab, dia memilih melengos dan kembali menekuri email dari beberapa orang. Dia harus membalas beberapa pertanyaan dari klien-kliennya untuk mengalihkan pikiran.
Satria mengembuskan napas dengan perlahan, dia berjalan lalu meletakkan kantong cokelat yang dia bawa di atas meja.
"Minum vitaminnya dulu. Takut kamu lupa minum kalau malam nanti."
Malika melirik kantong itu, dia benar-benar lupa akan vitamin yang diresepkan tadi. Otaknya terlalu sibuk memikirkan rencana ke depannya sehingga lupa bahwa dia harus merawat janin yang hidup di perutnya sekarang.
Dia kemudian membuka kantong itu dan mengambil dua strip vitamin yang berbeda. Membuka lalu meneguk keduanya dengan air yang diangsurkan oleh Satria.
"Thanks." Ujarnya yang dibalas anggukan oleh Satria.
Satria kemudian duduk di sofa yang tadi dia tempati.
"Kamu ngapain di situ? Gak pulang?" Tanya Malika dengan kening berkerut dalam, dia tidak ingin ada di dekat siapapun sekarang ini. Dia perlu sendiri dan memikirkan harus melakukan apa dan mengatakan apa pada orangtuanya.
"Nungguin kamu. Saya antarkan pulang nanti."
Malika mendengus, "Saya bisa pulang sendiri. Rasanya kita tidak perlu mengulang perdebatan yang sama seperti di Rumah Sakit tadi."
"Memang, karena kamu suka atau tidak, saya akan mengantar kamu pulang." Ucap pria itu sambil membaringkan tubuhnya di sofa.
"Kamu gak punya urusan lain apa selain ngerecokin hidup saya?"
Bukannya menjawab Satria justru memejamkan matanya. Malika kesal dan menyetel musik dengan kencang, berharap agar manusia satu itu terganggu dan memilih pergi.
"Saya terbiasa dengan musik kencang, Malika. Mungkin kamu mulai harus memikirkan mendengar musik klasik dari sekarang, katanya itu bagus buat janin." Tutur Satria masih dengan mata terpejam.
Malika mengumpat pelan, dia lupa pekerjaan Satria.
Tiba-tiba Satria membuka matanya lalu menoleh ke arah Malika. Malika yang sedari tadi memang menatap Satria terkejut dan mengalihkan tatapannya kembali ke laptop.
"Kamu merokok? Kalau minum, saya tahu kamu gak minum." Tanya Satria sambil menatap Malika yang kini tengah gelagapan.
"Gak, saya gak merokok."
"Okay, untuk pemeriksaan darah kamu mau kapan?"
"Cek darah apa?"
Satria mengembuskan napas dengan kasar lalu berdecak, "Biasakan dengerin kalau dokter ngomong. Informasi ini penting buat kamu. Kayak gini sok-sokan mau sendiri." Satria memerhatikan raut Malika yang berubah menjadi kesal dan menatap tajam padanya. "Dokter bilang kamu harus tes darah lengkap, Rubella, HIV, Hepatitis dan tes gula. Formnya ada di kantong cokelat itu juga, tadi sudah saya taruh."
Malika kembali melongok pada isi kantong dan menemukan form yang dimaksud oleh Satria.
"Kamu balik ke Bali kapan?" Tanya Malika yang membuat mata Satria menyipit.
"Kenapa? Kamu mau nunggu saya balik ke Bali baru tes darah? Cerdas sekali." Ejek pria itu, kini tangannya sudah terlipat di dada. Mata Malika kembali berlari ke tangan kokoh itu dengan tato yang menggoda untuk disentuh.
Malika menggelengkan kepalanya, dia perlu fokus pada pembicaraan ini. Jadi dia memilih untuk menatap ke mata Satria. Lalu kelebatan itu muncul lagi. Bayang-bayang atas perbuatannya di Bali dulu kembali muncul ketika dia menatap mata Satria.
Bagaimana dia melucuti pakaiannya sendiri lalu menerjang Satria persis seperti apa yang pria itu katakan. Lalu pertanyaan Esa mengenai ukuran Satria membuatnya ingin menjedotkan kepala ke tembok karena sekarang dia ingat betul bentuk dan ukuran pria itu.
Shit!
"Malika, fokus. Kenapa sih kamu sering banget melamun?" Suara Satria yang dalam membuat Malika kembali dihantam ingatan mengenai geraman pria itu ketika dia mencapai puncaknya.
Double shit!
Malika mengerjapkan mata lalu meneguk airnya hingga tandas. Dia merasa perlu jarak dari Satria jika ingin berpikiran jernih sekarang ini. Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu.
Cekalan di tangannya membuat dia gagal membuka pintu. Entah sejak kapan Satria sudah berdiri di dekatnya hingga dia dapat mencium aroma yang tidak terasa asing di indra penciumannya. Tarikan di tangannya memaksa Malika untuk berbalik dan ia menatap mata Satria kembali.
"Bisa tidak, kamu tidak kabur setiap kita bicara?"
"Tapi saya tidak mau bicara sama kamu."
"Kamu gak punya pilihan lagi. Kamu sudah memilih untuk membiarkan janin itu tumbuh dan kamu tidak mempunyai pilihan selain membiarkan saya ikut campur di setiap perkembangannya. Kamu suka atau tidak, saya akan tetap berada di dekat kalian."
"Kenapa kamu memaksa sih?"
"Karena itu anak saya juga."
"Siapa yang bilang ini anak kamu?"
Satria mengerutkan keningnya.
"Siapa yang bilang ini anak kamu?" Ulang Malika. "Memangnya hanya kamu laki-laki yang punya sperma di dunia ini?"
Malika mencoba melepaskan cekalan Satria tapi gagal.
Kenapa sih laki-laki ini cengkramannya kuat betul?!
"Memang, tapi setelah Bali saya tahu kamu tidak tidur dengan pria mana pun. Hidup kamu hanya seputaran butik ini dan apartemenmu. Kadang pergi ke kelab malam juga, tapi saya tahu kamu tidak minum dan kamu selalu pulang sendiri."
Mata Malika terbelalak, mulutnya terbuka lebar mendengar penuturan Satria.
"Kamu memata-matai saya?!" Teriaknya dengan kencang.
"Kamu tidak bisa diajak bekerja sama jadi saya tidak punya pilihan lain."
Malika memijat pangkal hidungnya.
"Kenapa? Pusing lagi?" Tanya Satria sambil membawa Malika ke sofa dan mendudukannya di sana.
"Bisa tolong pergi sebentar? Saya perlu waktu sendiri." Pinta Malika, berharap Satria mau mendengarkannya jika dia mengiba seperti sekarang. Matanya menatap netra Satria yang kini juga tengah menatapnya.
"Jangan harap." Jawab pria itu sambil mengenyakkan tubuhnya di sofa dan berkutat dengan ponselnya.
BRENGSEK!
Wkwkwkwkw BangSat kamu beneran minta dicium deh sama Esa
Apdet lagi ketika total 1.3K di vomment atau tanggal 11/1/20
4/1/20
9/3/20
KAMU SEDANG MEMBACA
Tient à Cœur [FIN]
RomanceSudah cetak selfpub ISBN 978-602-489-913-4 Malika kembali ke negara asalnya dua tahun setelah perceraian itu terjadi. Perceraian yang mematahkan hatinya dan juga merobek asanya. Kembali jatuh cinta bukan hal yang ingin dia lakukan, dia memilih unt...