Tient à Cœur - 14

15.9K 2.1K 114
                                    

Repub tanpa edit 2/9/20
13/11/20
23/6/21

Aku apdet sekarang karena besok gak bisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku apdet sekarang karena besok gak bisa.
Jangan lupa pencet bintang n follow akun ini yes. Maacih

Satria kembali ke Bali setelah mendapatkan hasil tes darah Malika, dua minggu yang lalu. Setelah konsultasi dokter dan memastikan akan ada orang lain yang menemaninya selama pria itu mengurus pekerjaannya di Bali.

Korbannya adalah Esa. Wanita-berterong itu dipaksa menginap dan harus mengawasi Malika selama 24 jam. Tentu saja Esa memanfaatkan kesempatan itu dengan meminta uang lembur dan juga bonus tambahan kepada Satria. Dia tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk menambah rupiah di tabungannya ketika dia melihat kesempatan.

Malika sedang mengeluarkan isi perutnya di kloset kamar mandinya dengan Esa yang tengah mengurut tengkuknya sambil memegangi rambut Malika agar tidak kotor. Ekspresi jijik tampak jelas di mukanya, tapi dia mencoba menahan diri demi pundi-pundi yang akan terkucur di akhir bulan nanti.

"Nek, muntahin apose sih? Yei kan gak mekarena apa-apa."

Malika mengangkat kepalanya, rasa asam di mulutnya akibat muntah terus menerus sangat terasa diujung tenggorokan. Hal itu justru membuatnya semakin ingin memuntahkan apapun yang berada di dalam perutnya meskipun dia sudah lemas dan yang keluar hanyalah cairan.

Esa menyerahkan segelas air mineral yang langsung digunakan Malika untuk berkumur, berharap rasa asam itu hilang bersamaan dengan air yang dia keluarkan.

Tidak.

Rasa asam itu masih terasa dan yang dia inginkan sekarang hanyalah muntah lagi. Dengan gerakan cepat dia meletakkan gelas lalu meletakkan kedua tangan pada sisi kloset dan memuntahkan cairan kembali.

"Eh! Eh! Kok muntah lagi sih?!" Ucap Esa dengan panik yang diabaikan oleh Malika.

Ketika dia merasa lebih baik, dia langsung duduk di lantai kamar mandi, badannya terlalu lemas setelah muntah terus menerus dan yang dia inginkan hanyalah berbaring meskipun harus di lantai kamar mandi.

"Nek, jengjong* tidore di sini dong! Eik gimenong angkat yei?!" Keluh Esa sambil duduk di lantai dan memandang Malika dengan tatapan nelangsa.

"Jangan berisik, badan gue lemes, kepala gue pusing dan hal terakhir yang pengen gue denger adalah suara lo." Rutuk Malika seraya menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

Dia memaksakan badamnya untuk duduk sesaat sebelum berdiri dengan tangan berpegangan pada kenop pintu. Esa dengan sigap membantunya berdiri lalu membopongnya ke ranjang. Dia pergi keluar kamar dan kembali dengan segelas air mineral dan juga roti cokelat.

"Makarena roti dulu yuk, Nek. Biar perut gak kosong."

"Nanti aja, taruh di nakas aja, Sa. Pas sudah enakan nanti gue makan."

Esa menggigit bibir bawahnya lalu mengikuti perintah Malika.

"Nek..yakin gak mau gue teleponin Satria?"

"Buat apa? Emangnya kalau ada dia muntah gue bakalan hilang gitu?"

"Ya mana eik tau, sebelum ini kan yei gak muntah-muntah. Bisa jadi anak yei pengen dikunjungin Bapaknya. Ya gak heran sih, Bapaknya hot gitu." Esa cekikikan di akhir kalimatnya yang membuat Malika menatap dengan jengkel.

"Dia aja gak berkabar dua minggu ini." Balas Malika pelan tapi Esa dapat menangkap nada kesal di kalimat itu.

"Eh dia himalayang*?!"

"Gak tahu, gak mau tahu juga."

"Dasar ya, para lekong ini cuma mau enaknya aja. Kalau udah hamidun langsung lupita!" Geram Esa. Dia lalu menatap kasihan pada bosnya itu, "Nek, ngidam apose sih? Biar eik cariin deh."

Malika berpikir sejenak, "Pengen casserole."

"Yaampun Nek! Mau makarena itu aja ya bilang dong! Bikin binunah* deh!"

"Tapi maunya yang dimasakin Chef Narendra kayak yang di TV kemarin." Lanjut Malika yang membuat Esa melongok.

"Bok, mesti spesifik banget yang masak sapose gitu?!"

"Ya pokoknya harus Chef Narendra!" Ucap Malika dengan raut serius dan Esa hanya bisa menutup matanya dengan kesal. Dia bersungut-sungut dalam hati dan berjanji tidak akan membiarkan Malika menonton acara masak memasak lagi di TV kedepannya. Atau selama wanita itu hamil. Atau selama-lamanya sekalian.

"Sutra, eik cari jalannya. Tidur dulu." Dia melangkah keluar dari kamar Malika, sebelum menutupnya dia menjulurkan kepala lagi, "Makarena rotinya, yes." Lalu pintu tertutup.

Malika mendengus melihat roti yang berada di nakas. Dia tidak menginginkan apapun sekarang ini selain tidur. Matanya melirik pada ponsel yang tergeletak di ranjang. Tangannya mengambil ponsel itu dan tidak melihat ada notifikasi apapun di sana.

Dia tidak bisa menampik perasaan kecewa yang muncul karena selama dua minggu ini Satria menghilang dan tidak ada kabar. Bagaimana pun pria itu membuatnya berpikir setidaknya dia tidak menjalani kehamilan ini sendirian dengan perhatian yang ditujukkan padanya.

Urgh! Buat apa kecewa? You gonna be fine Malika. Ucapnya pada diri sendiri sambil mengelus perutnya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menaruh harapan pada orang lain agar tidak kecewa, bukan?

"Mama manggil kamu apa ya, Baby?" Katanya lagi sambil memandang perutnya yang masih rata. "Bagaimana kalau Pickle? Mama suka sama pickle soalnya." Kekeh wanita itu, dia menganggukkan kepalanya tidak lama kemudian.

"Pickle it is."

Next apdet 8/2/20 atau bintang n komen 1.5K
Tebak-tebakan yuk, akankah Om Naren muncul? Wkwkwkw

Jengjong = jangan
Himalayang = hilang
Binunah = bingung

Jengjong = janganHimalayang = hilangBinunah = bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tient à Cœur [FIN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang