Sembilan

2.1K 279 23
                                    

Selama beberapa minggu terakhir, Iqbaal disibukkan dengan tugasnya sebagai anggota OSIS di bidang humas. Karna sekolah mereka akan mengadakan event, otomatis Iqbaal sebagai ketua bidang menjadi lebih sering pergi keluar sekolah. Entah itu mengantar undangan, proposal, dan yang lainnya.

Dan selama itu juga lah (namakamu) selalu menerima bully dari teman-teman sekolahnya. Entah itu dalam bentuk fisik atau kata-kata. Cewek itu sampai lelah menahan Nasya dan Arindra agar tidak membalas saat dirinya di bully.

"Kenapa sih (nam)? Harusnya lo biarin aja gue marahin orang orang nggak tau diri itu!" ujar Arindra kelewat emosi.

"Biarin aja Rin. Kalo lo ngelawan, mereka malah makin jahat"

"Justru kalo kita diem aja mereka makin ngelunjak! Lagian ini Iqbaal kemana sih? Sibuk banget heran"

(namakamu) terkekeh pelan. "Iqbaal kan juga punya urusan sendiri. Lagian, gue nggak mau dianggap berlindung sama Iqbaal. Nggak papa kalo emang mereka seneng dengan bully gue kayak gini"

Nasya membulatkan kedua matanya saat mendengar kalimat (namakamu) barusan. "Lo waras?"

"Rin, Ca, Tuhan itu nggak tidur. Terserah mereka mau bersikap gimana sama gue. Biar Tuhan yang bales kelakuan mereka"

"Tapi (nam).."

Arindra tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Cewek itu terdiam sambil memandang wajah (namakamu). Ada lebam di sudut matanya. Katanya itu disebabkan karna membentur meja. Tapi Arindra tau cewek itu berbohong.

"Sebentar ya, gue ke toilet dulu" pamit (namakamu) kemudian berlalu begitu saja.

Toilet perempuan cukup ramai ternyata. (namakamu) pun segera menyelesaikan niatnya dan ingin pergi keluar setelah selesai. Satu langkah lagi sampai ke pintu keluar, tiba-tiba (namakamu) terjatuh karna ada seseorang yang sengaja mengait kakinya.

"Akkh" teriak (namakamu) saat lututnya berbenturan dengan lantai cukup keras.

"Ups maaf. Gue nggak sengaja"

Dari suaranya, (namakamu) tau siapa yang orangnya. Itu pasti Sherin. (namakamu) sendiri masih menunduk karna lututnya terasa nyeri.

"Sakit ya? Uh kasian" ejek Sherin membuat (namakamu) mendongak. Cewek itu menatap Sherin dengan tatapan bingung.

"Aku salah apa ka?" tanya (namakamu) lirih.

Bukannya menjawab, Sherin malah berlalu begitu saja. Keadaan toilet ramai tapi tidak ada satu orang pun yang mau membantu (namakamu) untuk berdiri. Akhirnya cewek itu berusaha berdiri sendiri walaupun rasanya sangat sakit.

(namakamu) menggigit bibirnya, menahan agar tidak berteriak disini.

'Ya Tuhan, tolong. Sakit banget rasanya'

~•~

(namakamu) masih menangis setelah lututnya selesai di urut. Nasya dan Arindra yang saat itu menemani pun ikut berteriak saat (namakamu) teriak.

"Udah non, kan udah selesai di urut" ucap Bi Rina menenangkan (namakamu).

Cewek itu terkekeh pelan di sela-sela tangisannya. "Aku juga gamau nangis bi, tapi nggak tahan sakit banget"

"Emang kurang ajar tuh ketua ekskul rambutan! Liat aja besok bakal gue bales sampe mampus"

"Sya udah. Jangan memperpanjang masalah"

"Please (namakamu), kali ini aja biarin gue ngebela lo. Gue nggak mungkin diem aja kalo lo terus-terusan diginiin"

(namakamu) menghela napasnya, kemudian tersenyum tipis. "Gue cuma nggak mau kalian jadi ikutan bermasalah karna belain gue. Gue tau niat kalian baik, tapi bakal lebih baik kalo kalian nggak diganggu juga sama mereka. Cukup kalian susah karna gue aja selama ini. Jangan karna mereka juga"

Arindra menggeleng kuat. "Apasih lo ngaco ya? Mana pernah lo nyusahin kita (namakamu)?! Justru selama ini lo selalu baik sama kita"

Tiba-tiba pintu kamar (namakamu) terbuka. Ternyata Dona yang datang.

"Bagus ya kamu! Baru jam segini udah ada di rumah. Mama bayar mahal mahal buat sekolah kamu loh, mau jadi apa nanti?!"

"Maaf bu. Non (namakamu) pulang karna ada kecelakaan kecil tadi" ujar Bi Rina mencoba membela.

"Alasan! Paling juga kamu kan yang cari gara-gara?" tanya Dona setengah membentak. "Bi tolong balik ke dapur. Jangan lupa masak buat makan siang"

Dengan berat hati, bi Rina pun terpaksa keluar dari kamar (namakamu). Untung saja masih ada Nasya dan Arindra.

"Enggak tante. (namakamu) gini karna temennya kak Olivia" bela Nasya mencoba memberanikan diri.

Dona menatap (namakamu) dengan tatapan tajam. "Pasti kamu yang cari gara-gara duluan kan?! Ngaku kamu! Nggak usah nyalahin orang lain segala!"

"Mah, bukan gitu maksudnya. Aku c--"

"Cuma apa? Jadi anak ngeles aja kerjaannya!"

"Tapi aku nggak salah apa-apa ma. Emang kak Olivia sama temennya yang suka jahatin aku!"

"Keterlaluan kamu!"

PLAK

(namakamu) refleks memegang pipi kirinya. Bahkan Arindra dan Nasya juga hampir menangis saat melihat kejadian itu.

"Bisa-bisanya kamu nyalahin kakak kamu! Mama tau kamu iri kan? Dasar anak nggak tau diri!" bentak Dona lagi membuat (namakamu) menunduk dalam. Hati anak mana yang tidak hancur mendengar kata-kata seperti itu dari mulut ibunya.

"Maaf ma" lirih (namakamu) yang masih bisa didengar oleh Dona. Kemudian wanita itu berjalan ke arah pintu dan keluar dari sana.

Tangis (namakamu) kembali pecah. Kali ini, rasa sakitnya terasa berkali-kali lipat.

"(namakamu), maafin gue" ujar Nasya karna merasa salah sudah melibatkan nama Olivia dalam masalah ini. Akibatnya (namakamu) yang mendapat imbasnya.

Cewek itu tersenyum, walaupun airmatanya masih menetes. "Nggak papa Ca, ini bukan salah lo" ujarnya.

Arindra yang tidak tahan, berhambur untuk memeluk (namakamu). "Lo ikut gue aja yuk? Lo pasti baik-baik aja kalo sama gue"

"Rin, sekarang dan sebelumnya pun gue baik-baik aja. Gue cuma butuh istirahat sebentar. Boleh ya?"

~•~

Selama 17 tahun hidup, (namakamu) tidak pernah mengetahui alasan dibalik rasa benci yang selalu ditunjukkan oleh keluarganya. Tapi lebih baik seperti ini. Karna apapun itu alasannya, (namakamu) tidak siap jika harus membenci dirinya sendiri.

Cukup seperti ini saja (namakamu) sudah merasa lelah. Batin dan fisiknya hampir hancur karna selalu disakiti. Tapi cukup untuk melihat orang tersayangnya selalu bahagia, (namakamu) juga akan bahagia. Sekalipun dirinya yang sakit demi kebahagiaan itu.

Terkadang manusia memang munafik. Rela menukar kebahagiaannya demi orang lain, padahal dirinya juga berhak bahagia.

Halaman demi halaman dibuka, menampilkan potret seorang anak kecil perempuan yang selalu tertawa bahagia kala itu. (namakamu) ketika masih bayi, umur 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, saat pertama kali masuk taman kanak kanak, dan saat ulang tahunnya yang keenam.

'Selamat ulang tahun anak mama sayang. Semoga kamu panjang umur ya. Harus jadi anak yang baik'

'Hari ini putri papa ulang tahun ya? Selamat ulang tahun sayang. Tambah pinter ya'

'Hey selamat hari lahir adik kecil! Kakak dan abang sayang kamu!'

Hanya itu kata-kata manis terakhir yang (namakamu) terima. Seterusnya sampai detik ini, tidak pernah lagi (namakamu) tau rasanya bagaimana disayang dan diperhatikan.


















 



























 



garing bgt astaga😭 marahin aja ngaret bgt emang:(



btw kalian libur gak?

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang