Empatbelas

1.4K 221 12
                                    

"Awas pelan-pelan. Tar kepleset jatoh lagi" peringat Iqbaal membuat (namakamu) mendengus.

Sudah hampir dua bulan pasca kejadian yang menyebabkan lutut (namakamu) cidera sampai harus di operasi ringan. Dan hari ini, untuk yang pertama kalinya cewek itu tidak menggunakan tongkat lagi. Walaupun kadang masih sedikit ngilu.

"Gue bukan anak bayi yang baru bisa jalan ya! Biasanya gue juga jalan tapi pake tongkat" sungutnya yang dihadiahi tawa oleh Iqbaal.

"(nam) gue serius nih. Kalo lo ketemu sama Laura dan temen-temennya itu, lo menghindar aja sebisa mungkin. Karna gue yakin mereka masih nggak terima meskipun udah dapet hukuman kemaren"

(namakamu) mengangguk cepat. "Iya Iqbaal. Tanpa harus lo bilangin gue juga paham"

"Bagus deh"

Tapi tetap saja, di rumah pun sikap Olivia kepada (namakamu) semakin menjadi. Hampir setiap hari gadis itu berulah dan mengkambing hitamkan adiknya. Akibatnya (namakamu) harus selalu menerima kemarahan dari mama dan papanya setiap hari.

"Woy? Kalo mau ngelamun nanti aja di kelas" tegur Iqbaal menyadarkan (namakamu).

"Hm? Kenapa tadi?" tanyanya.

"Enggak. Itu pintu kelas lo di sebelah kalo lupa"

Benar saja. (namakamu) tidak sadar kalau sekarang ia sudah sampai di kelasnya.

"Eh iya. Makasih loh udah nemenin gue sampe ke kelas" ucapnya kemudian.

Iqbaal mengangguk, kemudian mengacak rambut (namakamu) pelan. "Sama sama. Nanti pulang sekolah tungguin gue. Dah" ujarnya lalu melenggang pergi begitu saja.

Baru saja berbalik masuk ke dalam kelas, (namakamu) sudah melihat tatapan tidak suka dari teman-temannya.

"Kalo mau Iqbaal ya Iqbaal, kalo Irzan ya Irzan. Jangan lo ambil dua-duanya" ucap Dira, teman sekelas (namakamu).

"Gue sama mereka cuma temenan kok" jawab (namakamu) berusaha tetap kalem.

"Eh (namakamu) udah deh ya, nggak usah pake ngeles segala. Lo nggak lupa kan kalo mereka berdua itu temen deketnya almarhum cowok lo? Jangan sampe deh semuanya mau lo embat" kali ini Adit yang berbicara. Kalau sudah menyangkut Raffy, (namakamu) tidak bisa menjawab lagi.

Sampai tiba-tiba Nasya datang dan langsung merangkul cewek itu. "Masih pagi (nam). Mending lo temenin gue ke kantin daripada ngedengerin orang-orang kurang perhatian"

"Maksud lo apa? Nggak usah sok jadi temen yang paling baik gitu lah" ejek Dira tak suka.

"Kenapa? Lo nggak terima gue bilang kurang perhatian? Fakta kali. Buktinya lo perhatiin sahabat gue sampe segitunya. Ya gak (nam)?" tanya Nasya yang masih terdengar santai.

(namakamu) memejamkan matanya sebentar. Kemudian menepuk bahu Nasya pelan. "Udah Ca. Ayo deh kita ke kantin aja" ujarnya langsung mengajak Nasya keluar dari kelas.

~•~

Nasya kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah membaca informasi di grup kelas. "Kita gausah balik ke kelas deh (nam). Di sini aja"

"Kenapa Ca?" tanya (namakamu) sambil mengaduk mie ayam miliknya.

"Bu Ila hari ini nggak masuk, jadi kita free sampe istirahat kedua" jawab Nasya. Memang Bu Ila mengajar dua mata pelajaran di kelas mereka.

"Eh iya Ca, Arindra nggak sekolah?"

"Enggak. Katanya dia ada acara gitu sampe beberapa hari ke depan"

(namakamu) hanya mengangguk paham, lalu kembali melanjutkan kegiatan makannya. Tapi cewek itu bingung saat melihat Nasya yang terus memperhatikan dirinya. "Kenapa sih Ca? Gue tau gue cantik tapi gausah segitunya juga kali" pede (namakamu) membuat Nasya mendengus.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang