The first disappointment

2.8K 227 33
                                    

Fanny yang dibantu oleh Milan segera menyiapkan obat obatan, susu Ibu hamil dan susu Balita. Milan yang ternyata humoris membuat Fanny  bekerja dengan senyum yang selalu terulas di bibirnya. Bahkan sesekali terdengar gelak tawanya, ketika Milan bercerita sesuatu yang sebenarnya konyol.

Fanny tidak menyadari, bahwa dibalik pintu yang sedikit terbuka. Sepasang mata menatapnya tajam dan berkilat kecewa. Lalu suara beratnya yang selalu berkata ketus terdengar agak meninggi.

" Milan, kau bantu saja Fredrick mengemas kebutuhan sandang pangan. Biar aku yang bantu dokter Fanny."

Fanny dan Milan serentak menatap pemilik suara. Senyum Milan segera terkembang sambil mengangguk sopan. Fanny sendiri, sedikit tergegau menatapnya.

" Permisi dokter. Komandan, saya siap membantu Pa Fredrick." Ucap Milan sambil melangkah keluar ruangan.

" Lebih baik kau periksa dulu lukaku, baru kau selesaikan yang itu. Aku harus bertemu dulu Komandan Kompi bantuan, sebelum kembali ke pedalaman." 

Suara ketus beraura perintah itu, membuat Fanny menghela napas. Dengan wajah datar dia menatap lelaki di depannya.

" Mengapa kau menatapku seperti itu, apa kau tidak mau memeriksa lukaku, kalau begitu aku akan minta bantuan Thea." Ucap Maxwell dengan suara khasnya.

Fanny memutar kesal bola matanya lalu segera menyudahi mengemas susu dan obat obatan.

" Okay, tunggu sebentar. Aku akan mencuci tanganku dulu." Ujar Fanny dengan suara tak kalah ketus.

Maxwell menarik sudut bibirnya dengan alis yang terangkat ke atas. Kilatan matanya menyampaikan rasa kemenangan.

Lalu Fanny menyelesaikan tugasnya memeriksa luka lelaki itu. Tangan terampilnya bekerja cepat. Gadis itu sedikit kesulitan menahan degupan jantungnya yang jadi tidak karuan, bila berdekatan dengan lelaki satu ini.

Lalu seolah tidak peduli, Maxwell berlalu begitu saja keluar ruangan. Meninggalkan Fanny yang tercenung menatapnya, begitu pemeriksaan itu selesai. Lalu gadis itu tanpa sadar berdecak kesal.

" Dasar lelaki datar. Bilang terima kasih atau apa gitu. Seenaknya pergi begitu saja. Sudah bikin aku seperti penderita palpitasi. Kau tahu Palpitasi Komandan Maxwell, dimana jantung berdenyut terlalu cepat dan tidak beraturan. Kau memang sangat menyebalkan." Umpat Fanny kesal.

Tangan gadis itu kembali pada pekerjaannya semula. Mengemas susu dan obat obatan yang tadi sempat dihentikannya dulu, karena lelaki itu begitu seenaknya memerintah.

" Aku bingung kenapa jantungku bisa berdegup kencang dan cepat bila di dekatnya. Oh my gosh, bahkan aku tidak mengalami ini di dekat si buaya darat itu."

Fanny tidak pernah tahu. Umpatan dan gerutuannya menyunggingkan senyum tipis di bibir lelaki yang masih berdiri di balik pintu.

Selesai menemui Komandan Kompi bantuan. Maxwell ditemani Fredrick, Valco dan beberapa prajurit lainnya duduk diruangannya. Pembicaraan mereka tidak terlalu serius, bahkan terkesan penuh canda. Ada tawa terdengar disela perbincangan itu. Walaupun seperti biasa, Maxwell hanya akan tersenyum samar atau tertawa pelan.

" Jadi bagaimana dengan acara pernikahannya, Komandan. Apa semua sudah siap?" Tanya Valco. Maxwell hanya menarik ujung bibirnya lalu menyesap kopinya santai.

" Apa kau sudah menyiapkan Tuxedo, Komandan?" Tanya salah satu dari prajurit yang ada di sana. Maxwell hanya tersenyum miring.

" Nurinti itu anak kepala desa, cantik dan sangat baik. Aku rasa, akan  banyak orang yang membantu acara pernikahan ini. Betul begitukan, Komandan?" Ucap seorang Prajurit lagi.

" Dia itu begitu manis sekali sikapnya. Lemah lembut dan sangat keibuan. Aku rasa Komandan kita ini begitu terpesona melihatnya." Ucap Fredrick sambil mengumbar tawa, membuat yang lain ikut tertawa. Maxwell tidak menanggapinya. Dia hanya tersenyum tipis saja.

Mata tajamnya menangkap seseorang yang berdiri di balik pintunya. Wajah lelaki itu terlihat sedikit berbinar. Walau kesan menjaga wibawanya tetap terlihat jelas. Dia melirik Fredrick yang sepertinya tidak mengerti. Dia tetap saja tertawa lalu kembali mengungkapkan perasaan kagumnya kepada perawan cantik Pedalaman itu.

Sosok itu menjauh, meninggalkan ruangan tadi yang sebenarnya akan dimasukinya. Untuk memberitahukan bahwa susu dan obat obatan telah selesai dikemas. Langkahnya terlihat gamang, dengan tatapan yang serba canggung. Seolah hilang akan rasa kepercayaan dirinya. Suara lirihnya miris terdengar.

" Apakah tidak terlalu dini, jika aku katakan. Aku kecewa."

My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang