The first crying

2.4K 184 47
                                    

Seharian Fanny sibuk dengan pasien pasien yang datang silih berganti ke Klinik Barak. Bermacam penyakit ditanganinya, berbagai keluhan rasa sakit dituntaskannya dengan senyum kepuasan. Sorot mata ramah dengan senyum yang menyejukkan di bibir, menemani Fanny menghabiskan hari sibuknya.

Thea dan Milan serta dibantu yang lainnya, melaksanakan tugas mereka dengan tulus dan penuh keikhlasan. Fanny merasa terbantu dengan kehadiran mereka. Senyum tetap terukir di bibir berwajah lelah itu.

" Lelah, dok. Istirahatlah." Ucap Milan penuh perhatian. Fanny tersenyum. Matanya mengerling pada Thea yang sedang menatapnya.

" Thea, kau mau menemaniku makan malam?" Tanya Milan lembut sambil menatap Thea dengan senyum. Gadis itu mengangguk dengan senyum.

Fanny menatap interaksi itu dengan senyum terulas. Lalu matanya beralih ke pintu yang terbuka. Seorang lelaki tinggi masuk dengan senyum tipisnya terulas.

" Aku rasa, aku terlambat. Kalian sudah mau pulang ya?" Tanya lelaki itu sambil berjalan menghampiri Fanny.

" Tidak, ada apa Fredrick?" Tanya Fanny sambil menghentikan kegiatan merapikan mejanya.

" Kalian pulanglah. Aku ada perlu dengan dokter Fanny." Ucap Fredrick sambil menatap Thea dan Milan bergantian.

" Thea, dokter Armand menunggumu di parkiran." Ucap Fredrick lagi. Ada senyum terulas di bibir lelaki itu.

Thea memutar bola matanya dan menatap Milan yang juga menatap gadis itu. Ada kilatan bening di mata lelaki muda itu yang tak mampu ditutupinya. Sepertinya rasa cemburu yang tertangkap di sana. Kemudian beriringan mereka keluar dari ruangan setelah mengucapkan salam.

" Ada apa Fredrick, kemana Komandan?" Tanya Fanny setelah mendudukkan dirinya dihadapan Fredrick.

" Kita harus ke pedalaman, dok. Komandan tadi pergi ke sana. Ada masalah di sana." Ucap Fredrick tanpa menatap Fanny yang sedang menatapnya.

" Masalah. Masalah apa?" Tanya Fanny terus menatap tajam Fredrick yang terlihat salah tingkah.

" Tetua adat meminta Komandan untuk datang. Anak gadisnya yang kemarin menikah ternyata sudah berbadan dua dan suaminya itu menyangkal melakukannya." Ucap Fredrick sambil menatap Fanny. Gadis itu tergugu. Mata beningnya seketika membulat penuh keresahan.

" Lalu kenapa harus Maxwell yang diminta datang. Apakah dia itu..."

Fanny menggantung ucapannya sambil menatap Fredrick gelisah. Raut wajahnya sedikit bergeriap. Fredrick menatap seolah tidak tega.

" Tetua menyangka, Komandan yang menghamili Nurinti karena wanita itu memang menyukai Komandan." Ucap Fredrick pelan. Wajahnya menunduk penuh penyesalan. Fanny gelisah dalam duduknya. Tatapannya nanar memandang wajah Fredrick yang masih menunduk dalam.

" Pantas saja dia pergi ke sana tanpa mengabariku." Lirih Fanny. Lalu dengan cepat gadis itu beranjak meninggalkan Fredrick yang masih terdiam dalam kekalutannya.

Sakit. Fanny merasakan sakit yang tiada terkira. Seolah sebilah sembilu mengoyak hatinya. Perih. Air mata tanpa mampu ditahan, merebak begitu saja.

" Maxwell." Gumamnya.

Langkah gadis itu seolah terhambat rasa berat di hatinya. Terasa Gamang. Tatapannya mengabur tertutup air mata yang terus mengalir.

" Dokter, tolong dengarkan dulu. Aku tidak percaya Komandan melakukan itu semua. Komandan lelaki yang belum pernah berdekatan dengan wanita mana pun. Aku saja heran ketika dia bisa begitu dekat dengan dokter. Aku yakin bukan Komandan pelakunya." Ucap Fredrick yang tiba tiba sudah berada di belakang Fanny.

Gadis itu membalikkan tubuhnya, lalu menatap Fredrick dengan mata dipenuhi butiran beningnya. Tangan mungil itu dengan kasar menghapus air mata yang terus saja bergulir.

" Kenapa aku jadi cengeng seperti ini." Batinnya sambil tersenyum masam.

Tatapan mata gadis itu berusaha menyampaikan binarnya. Menutupi rasa sakit yang kini seolah mengoyak hatinya. Bibir tipis itu terlihat menyunggingkan senyum terpaksa.

" Pergilah Fredrick. Biarkan aku sendiri. Aku lelah." Ucapnya dengan suara bergetar. Gadis itu ternyata tidak mampu menutupi perasaan kecewanya.

" Dokter Fanny, Komandan di sana membutuhkanmu. Aku yakin dia membutuhkan dukunganmu. Membutuhkan kehadiranmu." Ucap Fredrick dengan suara seolah memohon.

" Untuk apa, untuk menjadi saksi pernikahannya dengan wanita itu. Begitu?" Tanya Fanny sengit. Tatapannya garang. Fredrick menggeleng.

" Tidak, aku yakin Komandan tidak akan mau menikah dengan Nurinti. Apalagi dia tidak melakukan apa pun pada wanita itu." Ucap Fredrick dengan sabar.

" Lalu kenapa dia mau saja pergi ke sana. Dia kan tinggal bilang kalau dia tidak melakukan itu. Selesai." Ucap Fanny dengan suara masih tinggi. Fredrick tersenyum simpul.

" Komandan orang yang sangat bertanggung jawab. Dia merelakan dirinya menjadi jaminan sampai lelaki yang menghamili Nurinti datang dan mengakuinya." Ucap Fredrick sambil menatap Fanny yang terlihat tatapannya sedikit melembut.

" Ikutlah denganku. Komandan membutuhkan dokter." Ucap Fredrick penuh permohonan.

Fanny menatapnya ragu. Terbayang ketakutan yang akan dia jelang, jika pergi ke pedalaman bersama dengan Fredrick. Tapi rasa hatinya seolah mendesak. Perasaan cinta mendayu, menyapa sisi hangat hatinya. Menepis segera ketakutan yang tadi serasa mencengkram perasaannya.

" Baiklah. Aku akan ikut." Ucapnya tegas yang menghadirkan senyum di bibir tebal Fredrick.

" Terima kasih dokter."

My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang