The first enthusiasm

2.2K 186 33
                                    

Fanny memasuki rumahnya dengan wajah lesu. Rasa resah dan gelisahnya terlukis jelas di sana. Matanya yang berair tampak meredup. Belum lagi Maxwell yang tertegun menatapnya bertanya tentang keadaannya, gadis itu telah menghambur ke pelukannya dengan tangis berderai.

" Hei, hei. Ada apa?" Tanya Maxwell sambil sedikit meringis, menahan rasa linu di lukanya yang terbentur sandaran tempat tidur dikarenakan  tubuhnya terdorong oleh Fanny yang tanpa aba aba menubruknya.

" Barusan Mom menemuiku." Ucap Fanny pelan.

" Bagus dong. Di mana dia sekarang?"

Fanny mengurai pelukannya dengan wajah cemberut. Dengan kesal gadis itu menatap Maxwell yang juga sedang menatapnya. Lelaki itu mengerutkan dahinya, melihat gadisnya terlihat marah.

" Kau tidak mengerti." Jerit Fanny kesal. Maxwell tambah mengerutkan dahinya.

" Apa yang tidak aku mengerti dan lagi bagaimana aku bisa mengerti jika kau saja belum menceritakan apa pun."  Ucap Maxwell sambil menarik pelan tangan gadisnya dan kembali membawa tubuh gadis itu ke dalam rengkuhannya.

" Aku diminta pulang." Ucap Fanny agak merengek. Maxwell terkekeh.

" Kapan kau akan pulang. Aku akan mengantarmu."

Fanny kembali mengurai pelukan dan menatap Maxwell. Mata cantik Fanny terpejam ketika tangan besar Maxwell mengusap pipinya. Air matanya menetes mengenai tangan lelaki itu.

" Apa yang membuat gadisku yang galak ini menangis huh?" Tanya Maxwell dengan suara lembut.

" Aku diminta pulang hari Sabtu besok." Ucap Fanny pelan.

" Ya, lalu apa yang membuat kau menangis, baby?" Maxwell memegang lembut dagu Fanny. Gadis itu jadi menatap tepat ke mata kuning tembaga Maxwell.

" Aku diminta pulang karena akan dijodohkan." Ucap Fanny pelan.

Fanny menangkap mata dengan manik yang dikaguminya itu berkilat. Ada tanda tanya yang begitu jelas  tertangkap di sana yang membuat Fanny bergetar karenanya.

" Aku sudah menolaknya, karena aku juga tidak mengenal lelaki itu. Tapi Mom tetap memintaku pulang dan menerimanya." Ucap Fanny dengan suara bergetar gugup. Maxwell tersenyum kecut.

" Aku rasa kau tidak akan bisa menolaknya." Ucap Maxwell ringan. Fanny berdecih.

" Aku akan terus menolaknya. Aku tidak akan pulang." Ucap Fanny dengan suara tegas.

" Pulanglah.."

" Tidak. Enak sekali kau menyuruhku pulang lalu menerima perjodohan itu. Kau mau aku pergi, begitu. Apa kau tidak mencintaiku. Apa kau tidak akan mempertahankanku?"

Suara Fanny yang penuh amarah, memotong ucapan Maxwell. Gadis itu berdiri, beranjak menjauh dari Maxwell yang segera saja bergegas menghampirinya. Dengan lembut lelaki itu memegang pundak gadis cantik yang terlihat kalut itu. Lalu perlahan menghapus air mata yang menitik dari mata cantiknya.

" Aku menyuruhmu pulang bukan untuk menerima perjodohan itu. Aku akan menemanimu dan mengatakan pada keluargamu di sana bahwa aku kekasihmu dan aku siap untuk segera menikahimu." Ucap Maxwell sambil mengusap lembut pipi halus gadisnya.

Fanny berjinjit berusaha menjangkau bibir Maxwell dan mendaratkan ciuman ringan di sana. Lelaki itu mengulas senyum dan langsung memeluk pinggang gadis itu. Sedikit merunduk, bibirnya menggoda bibir yang barusan memberikan ciuman ringan itu.

Dengan sekali gerakan Maxwell mengangkat tubuh itu dan dengan perlahan merebahkannya di atas tempat tidur. Lalu lelaki itu segera mengungkung tubuh itu dengam bertumpu pada sikunya. Tubuhnya menghimpit tapi tidak menindihnya.

" Aku tidak akan pernah mengalah pada siapa pun, baby. You're mine." Ucapnya penuh aura kepemilikan. Membarutkan rona merah di pipi Fanny.

Deru napasnya terdengar begitu dipenuhi hasrat. Gairah menyentak seiring tatapan sayu dan bibir yang berdecap. Kecupan kecupan mesra tersampaikan di antara geliat tubuh yang seolah menggoda sisi lelaki itu.

" I love you and I never let you go. Kau yang selalu mengisi pikiranku. Kau yang menari nakal di relung hatiku. Menarik indah hasratku untuk selalu berpacu dengan gairahku."

Maxwell meraup dengan setengah bernapsu bibir yang seakan selalu menggodanya itu. Melumat penuh gairah. Lalu ketika dengan nakalnya gadis itu mengimbanginya. Lelaki itu mengerang, dia seolah mencoba mengalahkan hasratnya yang telah dilingkupi napsu. Suara seraknya terdengar mendayu di telinga Fanny.

" Baby please, may I..."


My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang