The first Reception

2.1K 180 16
                                    

Sepanjang acara yang begitu meriah berlangsung, Maxwell seolah masih merasa heran dengan keadaan yang saat ini dialaminya. Lalu ketika dia mempertanyakan semua itu kepada keluarganya. Dengan ketus Ayahnya itu menjawab.

" Salah kau yang lebih sayang prajurit, barak dan hutanmu itu dan juga orang orang pedalaman yang selalu mendapatkan prioritas perhatianmu."

Maxwell diam. Dia tidak sanggup untuk menanggapi ucapan Ayahnya. Lelaki itu hanya tersenyum kecut sambil menatap Ayahnya.

" Aku sampai ketakutan ketika mendengar ada perawan pedalaman yang mencintaimu. Jangan kau sangka aku tidak tahu. Mudah saja bagiku ini mengetahui semua gerak gerikmu. Termasuk perasaan cintamu yang tumbuh diam diam untuk gadis cantik, puteri sahabatku itu yang sebenarnya dari dulu sudah aku peruntukkan buatmu."

Maxwell mengulum senyum. Mata tembaganya berkeliling mencari pujaan hatinya yang ternyata sedang tergelak ceria digodai Armandio.

" How dare you, Armand." Desisnya yang menghadirkan tawa pelan Ayahnya.

Maxwell cepat membawa langkahnya, mendekati Fanny. Menarik lembut lengan gadis itu dan tanpa rasa ragu merengkuh tubuhnya. Gadis cantik itu seketika itu merona. Armandio tersenyum penuh pengertian.

Kemudian Maxwell begitu dibuat kebingungan, ketika dengan penuh senyum Ibunya memintanya untuk memulai acara lamaran tersebut. Maxwell benar benar tidak siap. Bahkan dia tidak menyiapkan cincin yang harus disematkan di jari lentik kekasihnya. Tapi Komandan galak dan tegas itu tidak kehilangan akal. Jiwa militer ahli strateginya begitu cepat tanggap.

"  Mam, aku rasa cincin grandma yang kau jadikan bandul kalung itu cukup di jari manis Fanny. Bolehkan aku memberikan cincin grandma untuk calon menantu Mama."

Mama tersenyum tulus. Dia mengakui kepintaran Maxwell. Dengan ringan dia membuka kalung yang dipakainya dan mengeluarkan cincin bermata berlian cantik yang dijadikan bandul kalung tersebut. Lalu menyerahkan cincin itu kepada Maxwell yang telah menengadahkan tangannya.

" Aku tidak, ehm maksudku belum mempersiapkan cincin untuk acara ini. Tapi ada cincin grandma yang akan kuberikan untukmu dan aku yakin grandma tidak akan marah jika cincinnya dipakai oleh calon Istri cucu kesayangannya." Ucap Maxwell tenang sambil menatap Fanny yang tersenyum karena ucapannya.

Semua yang berada diruangan itu tersenyum, ikut terlarut dalam kebahagian yang dirasakan oleh pasangan yang mengumbar tawa bahagia. Setelah dengan yakin Maxwell menyematkan cincin berlian yang teenyata begitu pas di jari manis Fanny.  Lalu tanpa aba aba Maxwell mencium bibir Fanny yang dengan wajah tersipu malu membulatkan matanya.

" I love you, baby. Very much." Bisik Maxwell lembut.

Fanny menatap Mom dan Dad yang segera memeluknya dengan bibir mencium kedua pipinya.

Gael, kakak Fanny. Merangkul pundak Maxwell dan berbisik di telinga lelaki itu.

" Kau akan berurusan denganku jika sedikit saja kau melukainya atau membuatnya menangis."

Maxwell menatap Gael tajam lalu mengangguk, sebagai tanda bahwa dia menerima tantangannya. Fanny menatap kakaknya itu dengan wajah masam.

" Stay away from my life."  Gumam Fanny. Gael tertawa pelan. Lelaki itu merengkuh tubuh kecil adiknya.

" Kau adik kecilku. Walaupun kita jarang bertemu. Aku tetap saja mengkhawatirkanmu. Aku tidak mau ada seorang pun yang menyakitimu." Ucapnya pelan di telinga Fanny yang berhasil membuat mata gadis itu berkaca kaca.

Lalu tampak dengan langkah gemulai, Paula menghampiri Fanny. Wanita itu ikut memeluk tubuh adiknya yang masih berada dalam pelukan Gael.

" Adik kecilku sudah dewasa. Aku senang kau memilih Maxwell, lelaki itu pasti yang terbaik untukmu." Bisik Paula. Fanny tersenyum. Matanya sudah merebakkan butiran kristal beningnya.

Semua pasang mata yang berada di ruangan itu, menatap keakraban kakak beradik Henzie. Membuat mata Mom dan Dad tidak kuasa untuk tidak melinangkan tangisnya.

Mama dan Papa Maxwell memandang  haru anak lelaki sulungnya yang akhirnya melabuhkan hatinya dan tanpa disangka, gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta adalah gadis yang sudah dijodohkannya sedari kecil dulu.

" Hidup ini terkadang penuh misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti." Gumam Mama yang diangguki Mom. Dua wanita paruh baya yang masih cantik itu tersenyum sambil mengusap pelan matanya yang basah.

My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang