the first trembeling

2.3K 206 80
                                    

Mata Maxwell terlihat berkilat penuh amarah. Langkah lebarnya tergesa keluar dari dalam ruangan rumah petak itu. Tangan kekarnya masih merengkuh pundak Fanny untuk menjejeri langkahnya. Tubuh kecil Fanny sedikit terhuyung mengikuti langkah lebar Maxwell.

" Kurang ajar bocah itu, dia harus bertanggung jawab. Enak sekali menebar benih lalu menimpakan dosanya kepada orang lain. Aku harus memberinya pelajaran. Brengsek kau, Valco."

Suara kasar Maxwell keras, terdengar membentak. Semua yang ada di sana bergeming. Hening. Setiap pasang mata menatap cemas ke arah lelaki yang gusar dalam amarahnya. Fanny  merapatkan tubuhnya ke tubuh besar milik Maxwell. Butiran beningnya menitik. Gadis itu tampak ketakutan.

" Fredrick. Bawa si bangsat Valco kehadapanku." Teriakan Maxwell membuat setiap hati ciut, gundah menebar dalam setiap mata yang menatap.

" Dia tidak ada Komandan." Teriak Fredrick.

Mata Maxwell menggelap. Wajahnya menegang. Tatapan matanya seolah siap membunuh. Fanny tanpa sadar mengelus lembut lengan kekar lelaki itu. Mencoba memberikan sedikit rasa tenang. Maxwell merengkuh cepat gadisnya ke dalam pelukannya. Menyatukan debarnya yang telah memburu, mencoba untuk menahan amarahnya yang meluap. Sedikit rasa kesal itu mengurai. Tapi rasa lain menyeruak, meronta dalam dada lelaki itu.

" Shit. Bahkan disaat marah seperti ini pun, kau masih saya membuat hasratku meninggi." Gumam Maxwell yang langsung saja menghadirkan sembarut merah di pipi Fanny.

Lalu tatapan matanya yang tajam seolah terusik, begitu menangkap kelebatan bayangan di bagian dalam hutan.

" Fredrick, Shaw, bawa anak buah kalian untuk menjelajah sisi dalam hutan. Aku melihat dia mengarah ke sana." Perintah Maxwell cepat. Sementara pelukannya tidak sedikit pun mengendur. Dia tahu gadisnya sudah mulai gemetar karena rasa takutnya.

Setelah Fredrick dan yang lainnya beranjak menuju ke bagian dalam hutan. Maxwell menatap Fanny yang kini tampak terpejam.

" Open your eyes, baby. Selama kau berada di sisiku, tidak akan ada lagi rasa takut yang menghampiri." Ucap Maxwell pelan dihadapan Fanny.

Mata Fanny terbuka lebar. Sangat lebar. Membulat sempurna. Gadis itu melihat dengan jelas sebutir peluru mengarah ke arah Maxwell yang memunggungi arah datangnya peluru tersebut. Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Suara teriakannya tidak mampu menghentikan cepatnya laju peluru yang dengan tepat mendarat di tubuh bagian belakang Maxwell.

" Oh my God." Desis Maxwell sebelum ambruk merebah, menyentuh tanah. Rasa panas muncul akibat gesekan peluru dengan kulit lalu rasa basah dirasakannya tidak lama kemudian.

" Maxwell, oh my God. Tolong ambilkan tasku di mobil." Teriak Fanny sambil menahan tubuh Maxwell di atas pangkuannya. Darah segar merembas membasahi pakaiannya.

Orang orang yang duduk tenang di dalam ruangan menghambur keluar. Menatap seolah tidak percaya. Beberapa prajurit sigap berjongkok di sisi tubuh Maxwell. Lelaki itu malah menatap Fanny dengan senyum tipisnya. Mengusap pelan air mata yang mengalir di pipi gadisnya dengan tangan gemetar.

" Jangan menangis, aku tidak apa apa." Ucapnya dengan suara tercekat.

" Liar." Desis Fanny.

" Cepat sini tasnya. Aku harus segera mengeluarkan pelurunya. Tolong bantu aku. Semoga ini hanya luka ringan tidak sampai merobek otot apalagi tulang."

Fanny berkata sendiri sambil sibuk membuka pakaian Maxwell. Tubuh lelaki itu di miringkan dengan posisi yang terkena tembak lebih tinggi, karena dengan memberikan sudut atau elevasi, perdarahan parah bisa segera dicegah. 

Untunglah peluru itu bersarang tidak terlalu dalam. Tidak sampai terjebak diantara tulang bahu. Dengan mudah Fanny mengeluarkan peluru itu dari tubuh Maxwell. Kondisi tubuh lelaki itu mendukung mudahnya peluru itu untuk dikeluarkan. Berkali kali suara lirih Fanny yang bergetar diantara tangisnya yang berusaha ditahannya terdengar.

" Stay with me, love. Stay with me."

Maxwell menyungging senyum tipis sambil menatap gadis cantiknya yang kini sibuk menutup lukanya. Obat untuk menghentikan pendarahannya sudah ditelannya, sambil tetap lekat menatap gadis cantik yang kini sedang menatapnya dengan senyum lembutnya.

" Thank you, baby. I love you even more." Ucap Maxwell lembut sambil menyandarkan tubuhnya yang kini telah dipindahkan ke gubuk bambu berlantai papan. Gubuk itu berbentuk rumah panggung. 

" Kau terlihat tidak ketakutan lagi. Aku senang." Ucap Maxwell yang membuat Fanny tergegau, seolah baru sadar.

" Kombinasi antara rasa takut akan kehilangan dirimu dan adrenalinku mungkin menghilangkan phobiaku." Ucap Fanny tenang.

" Berarti ada baiknya aku tertembak." Ucap Maxwell ringan yang membuat Fanny melotot galak.

" Ini yang terakhir kau terluka, Komandan. Jika nanti kau sampai terluka lagi, aku tidak akan pernah menolongmu lagi." Ketus Fanny. Maxwell terkekeh. Tangannya terulur, mengelus pipi gadisnya yang merona.

" Aku punya dokter pribadi yang cantik dan mencintaiku. Aku yakin dia tidak akan pernah membiarkanku kesakitan karena lukaku." Ucap Maxwell sambil mengerling ke arah Fanny. Gadis itu mencebik. Bibir tipisnya ringan mendarat di bibir Maxwell dan segera membungkam ucapannya.

" Kau jadi manja, Komandan. Dan sialnya aku mencintaimu."

My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang