The first commitment

2.8K 240 30
                                    

Senja itu dengan wajah datar dan tatapan mata yang seolah enggan dibantah. Maxwell melangkah ringan dengan tangan yang menggenggam erat tangan halus Fanny. Tatapan dari orang orang yang dilalui sepanjang jalan menuju rumah Fanny tidak dipedulikan oleh lelaki itu. Sementara wajah cantik dokter itu bersemu merah yang justru menambah kecantikannya. Gadis itu seolah berbinar menampakkan aura daya tariknya dan Maxwell, terkagum kagum menatapnya.

" Masuklah dan besok pagi aku akan menjemputmu. Kita akan menghadiri pernikahan itu." Ucap Maxwell sambil berusaha untuk menutupi tubuh mungil Fanny dengan tubuhnya, karena dia melihat banyak yang menatapi Fanny yang membarutkan rona merah jambu yang cantik di pipinya.

Ragu gadis itu mengangguk sambil menatap wajah Maxwell dengan sedikit mendongakkan wajahnya. Lelaki itu tersenyum samar.

" Kau harus mulai melawan rasa takutmu. Ingatlah, aku akan selalu berada di sisimu. Jadi jangan pernah takut lagi. Sudah, masuklah." Ucap Maxwell sambil membalikkan tubuh Fanny lalu mendorongnya pelan agar segera masuk.

Gadis itu menurut. Tapi belum sampai gadis itu masuk. Maxwell bergegas menariknya kembali lalu membawa tubuh itu masuk ke dalam pelukannya. Fanny terkesiap, kaget menerima perlakuan lelaki itu. Tapi ketika matanya mulai menangkap kehadiran dokter Armand yang baru turun dari mobilnya. Akhirnya Fanny mengerti. Gadis itu membalas segera pelukan lelaki itu. Walaupun rasa malu membuat wajahnya memerah.

" Jangan lagi berdekatan dengan dokter itu atau Milan atau siapa pun itu yang berjenis kelamin lelaki. you're mine, baby." Bisik Maxwell lembut di telinga Fanny, yang segera menggangguk sambil mengulaskan senyuman.

Lalu ketika pelukannya meregang. Maxwell segera mendorong lembut tubuh itu untuk masuk. Kemudian menunggunya menutup pintu dengan mata menyorot tajam.

Lelaki itu berbalik setelah yakin gadis itu telah aman di dalam rumahnya. Menentang tatapan beberapa pasang mata yang menatapnya tanpa kedip. Fredrick malah terlihat sampai membolakan matanya dengan mulut ternganga. Lalu dokter Armandio tampak tercengut, melihat satu pemandangan yang membuat hatinya serasa remuk. Gadis yang dikejarnya itu berada di dalam pelukan lelaki lain dan lelaki itu adalah Maxwell. Komandan tegas dan keras kepala yang tidak mungkin untuk dijadikan saingannya.

" Sore, dok. Ada perlu apa?"

Belum apa apa saja suara ketus itu seolah bernada mengajak perang. Menyampaikan akan rasa ketidak sukaannya dengan kehadiran Armand di sekitarannya. Aura marah itu jelas bisa dilihat oleh Armand yang jadi menciutkan nyalinya. Belum lagi tatapan tajamnya yang seolah mengintimidasinya untuk menjauh dari daerah teritorialnya. Armand mendengus pelan.

" Ah, Komandan. Hanya memastikan bahwa Nurinti akan menikah besok dan aku akan pergi dari sini, jadi aku menginap di sini." Ucap Armand dengan wajah penuh senyum untuk menutupi rasa kecewanya.

Maxwell menatapnya dingin. Lalu langkahnya terayun cepat tanpa memberikan tanggapan pada dokter Armand yang akhirnya dihampiri oleh Fredrick yang seolah mengerti akan situasi tidak baik itu.

Resah. Hati Maxwell jadi serasa tidak menentu. Kedatangan dokter Armand dan akan menginap di Barak itu, membuatnya merasa tidak tenang. Kemarin kemarin mungkin dia tidak akan begitu peduli tapi saat ini, ketika gadis itu telah dinyatakan sebagai miliknya. Bahkan bibir tipisnya yang ternyata belum pernah tersentuh dan membuatnya merasa jadi ketagihan, ingin selalu menyecap rasa manisnya. Membuat lelaki itu seolah menjadi seorang yang begitu possessive. Dia tidak mau siapa pun menikmati bibir itu.

" She's mine. Just mine." Ucapnya dengan tangan mengepal dan mata berkilat.

Kemudian seolah tidak sadar lelaki itu membawa langkahnya. Setelah dengan cepat menyambar kunci yang tergeletak di atas meja. Menyusuri jalan yang terlihat basah karena rintik gerimis yang gemerciknya masih setia menemani malam. Dia mengeratkan jacket tebal loreng yang dipakainya. Mempercepat langkahnya ketika gerimis merebak lebih deras. Tatapannya lurus ke depan. Tidak mengacuhkan tatapan dari beberapa prajurit yang mengulum senyum melihat Komandannya bertampang keruh.

Lalu langkah itu terhenti. Memasukan kunci yang dibawanya dan perlahan membuka pintu. Menatap kesekeliling ruangan yang berlampu benderang itu. Matanya terlihat berbinar dengan bibir yang melengkungkan senyum tipisnya, ketika matanya tertumbuk pada satu sosok yang lelap dalam tidurnya.

" Nite, baby. Sweet dream." Ucapnya sambil mendaratkan ciuman di bibir tipis itu. Lalu tanpa ragu, lelaki itu merebahkan diri disebelah gadis yang kini terlihat mengeliat. Tidurnya jadi terusik karena ulahnya barusan.

" Maxwell." Ucap gadis itu dengan suara serak. Matanya menyipit dengan kening berkerut.

" Sstt, sleep well baby. Aku hanya terlalu menghawatirkanmu terlambat bangun, jadi akulah yang akan membangunkanmu besok pagi." Ucap Maxwell sambil memeluk tubuh mungil yang menebarkan harum mewangi.

" Alasannya Komandan, ck. Bilang saja kau takut aku didatangi dokter itu kan."

Maxwell tidak menjawab. Dia malah segera membawa tubuh mungil itu lebih merapat. Lalu mengeratkan pelukannya. Suara bisikan mesranya di telinga Fanny, membuat tubuh gadis itu jadi menegang.

" I love you, baby."

My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang