The first impression

3.8K 297 43
                                    

Fanny mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Kebodohannya yang mau saja menjadi kekasih dokter play boy itu disenyuminya hampir sepanjang perjalanan. Kepalanya kadang kadang menggeleng dengan mata terpejam.

" Heuuh..dasar dokter gila. Kurang ajar. Brengsek. Play boy cap kecoa. Bajingan tengik. Hiiih..untung aja aku ga pernah mau bibirku dicium. Iihh jijik banget." Gerutu Fanny sambil kemudian tertawa menertawakan kebodohannya. Lalu tangannya mengusap kening dan pipinya yang pernah dicium Armand.

" Iiiih, aku sudah cuci pake sabun tujuh kali ko masih berasa aja ciumannya itu. Aduuuh, jangan jangan dia pengidap rabies." Ucapnya asal dengan tawa.

Dokter cantik itu teringat kejadian beberapa jam lalu. Dimana Armandio datang ke apartementnya dengan wajah seolah tanpa dosa. Tampang innocence. Malahan senyumnya terkembang begitu apik di bibirnya yang penuh. Fanny sampai ingin mencakar muka tampan itu.

Fanny meninggalkan begitu saja lelaki itu, yang kemudian diam tertunduk menekuri kekeliruannya.

" Kau salah orang dokter. Aku bukan gadis cengeng yang akan merengek meminta perhatianmu. Memohon untuk menjadi kekasihmu dan mengharapkan cintamu. Hidupku sejak kecil sudah susah dan keras, dokter. Orang tuaku kaya, tapi mereka sibuk dengan dirinya sendiri." Ucap Fanny dengan tawa sumbang.

" Aku sudah biasa hidup mandiri serta mengatur diriku sendiri. Aku sudah biasa tanpa perhatian, tanpa kasih sayang dan tidak bergantung pada orang lain." Lanjutnya kemudian.

" Manjakanlah gadis gadis kemayu itu, yang selalu merengek dan merajuk serta berdandan cantik bak boneka barbie. Aku yakin mereka akan terbuai rayuanmu, dokter." Ucap Fanny tenang, yang membuat Armand merasa ditampar. Begitu keras. Fanny kembali tertawa sumbang sambil menggelengkan kepalanya.

Mobilnya perlahan memasuki pelataran Barak Militer yang luas. Setelah dipersilahkan oleh tentara yang menjaga pintu masuk. Matanya meneliti sekitarnya begitu mobilnya berhenti. Dia tidak segera turun dari mobilnya. Mata emerald cantiknya segera menatap berkeliling. Mencoba mengenali tempat baru yang akan menjadi tempatnya mengisi hari hari dengan tugas yang siap diterapkannya selama setahun ke depan.

" Dokter Fanny?"

Sapaan sopan yang dibarengi ketukan di kaca mobil membuat Fanny sedikit terkesiap. Dia segera menurunkan kaca mobilnya lalu tersenyum ramah. Dengan gerakan cepat gadis itu keluar dari mobilnya, berjalan ke bagian belakang mobil untuk mengambil barang barang yang dibawanya. Dua koper besar dan satu buah tas dia keluarkan dari bagasi.

" Biar saya bantu, dokter." Ucap lelaki berseragam itu. Fanny mengangguk dengan senyum.

" Terima kasih." Ucapnya ramah.

Lelaki berseragam itu membawa satu koper dan tas besar gadis itu dengan mudah. Sementara gadis itu segera saja menyeret  kopernya. Gadis itu mengikuti langkah lebar lelaki berseragam itu. Untung gadis itu memakai sneaker yang mudah untuk dibawa melangkah dengan cepat.

Lelaki berseragam itu menghentikan langkahnya di sebuah rumah kecil bercat putih. Tampak asri dengan bunga bunga yang tumbuh subur di pot pot kecil yang tertata rapi.

" Silahkan dokter, jika butuh sesuatu boleh memanggil saya. Nama saya Fredrick." Ucap lelaki itu sopan sambil membukakan pintu. Fanny mengangguk sambil tersenyum.

Gadis itu segera memasuki rumah kecil tapi sangat asri dan bersih. Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu dengan kursi kayu, kamar tidur dengan tempat tidur ukuran sedang dan lemari berkaca besar yang diletakkan dekat pintu kamar mandi serta dapur kecil tapi sangat bersih.

Belum selesai Fanny mengamati rumah kecil dengan tatapan mata kagumnya. Sebuah ketukan agak keras terdengar, gadis itu bergegas membuka pintu dan sedikit terpukau menatap sesosok tegap berseragam dan juga bertopi berdiri gagah dihadapannya.

" Dokter Fanny Cornelia Henzie?" Tanyanya dengan nada datar sambil matanya menatap Fanny seolah tidak percaya.

" Ya, saya Fanny. Anda.."

" Saya Maxwell Fritz Moretti. Komandan Batalyon. Selamat datang dan selamat bertugas."

Formal. Sangat formal. Fanny sampai melipat bibirnya ke dalam untuk menaham tawanya. Lelaki itu lekat menatap Fanny dengan mata kuning tembaganya.

" Apa kau sudah memiliki surat izin praktek?" Tanya lelaki bernama Maxwell itu. Matanya menyorot tajam.

" Tentu." Jawab Fanny sambil mengangguk tegas.

" Aku merasa tidak yakin, tampangmu terlalu..ehm, lebih pantas menjadi model dari pada dokter." Ucapnya dengan nada seolah merendahkan. Gadis itu tercegut. Rasa kesalnya menyembul dengan cepat.

" Apa kau tidak mempercayai kemampuanku?" Tanya Fanny sengit.

Lelaki itu menggedikkan bahunya kemudian berbalik dan berlalu, meninggalkannya begitu saja. Fanny sampai terbengong  menatapnya.

" Sial, keluar dari mulut singa masuk mulut buaya. Oh my gosh." Rutuknya.

Gadis itu mendengus kesal sambil menutup pintu dengan sedikit membantingnya.

My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang