The first examination

1.7K 128 33
                                    

Fanny menatap sedih monitor di sisi ranjang periksanya. Air mata menetes dan dia segera mengusapnya secara perlahan. Tidak ada tangan yang selalu membantu menghapuskan air matanya. Menggenggam jemarinya dan mengucapkan kata kata cinta penuh rayuan.

" Aku harus bertugas lagi ke luar pulau, baby. Kau baik baik di rumah ya, jaga bayi di perutmu. Dan baby, Daddy titip Mommy ya, jangan nakal." 

Seminggu lalu Maxwell kembali harus pergi bertugas. Meski terasa begitu berat, Fanny tahu betul konsekuensi menikah dengan abdi negara. Fanny menerima pilihannya dengan lapang dada.

" Kehamilanku sudah memasuki usia enam bulan. Semoga kau bisa kembali sebelum waktunya. Aku ingin kau temani, ketika bayi ini lahir." Ucap Fanny penuh harap, sesaat sebelum Maxwell beranjak pergi. Lalu pelukan dan ciuman diterimanya dengan air mata yang ikut menemani.

" Bagaimana perasaannya, dok. Ditinggal tugas lagi ya."

Fanny melengak, mendengar suara dokter yang memeriksanya. Membuat Fanny mengulaskan senyumnya. Lalu dia mengangguk perlahan.

" Rasanya ada yang hilang. Kontrol tidak ditemani. Tapi sejak awal aku sudah tahu ini akan terjadi." Lirih Fanny dengan suara datar, tapi tak urung air matanya kembali menitik.

" Ada mama, sayang."

Sebuah suara membuat Fanny menoleh ke arah pintu. Sesosok paruh baya yang masih cantik tersenyum menatapnya.

" Mama, datang dengan siapa?"

Sedikit terpekik Fanny menyambut Ibu mertuanya. Rasa sedihnya sedikit hilang, berganti kehangatan karena tatapan sayang wanita itu.

" Dengan Mom tentunya. Mana tega kami membiarkan kau sendirian. Apalagi sedang mengandung calon cucu kami."

" Mom, ya Tuhan. Kau sampai rela meninggalkan kerajaan fashion demi menemaniku?"

Fanny sedikit mengangkat tubuhnya karena kaget dengan kehadiran Ibu tercintanya. Dua wanita paruh baya cantik itu mengusap lengan Fanny. Menghadirkan ketenangan di diri Fanny. Mereka berdiri bersisian di sisi ranjang periksa. Menatap layar monitor yang memperlihatkan bayi di perut Fanny dengan mata berlinang air mata.

" Lihat, dia begitu imut. Lucu sekali." Lirih Mama sambil mengusap air matanya.

" Kau sudah dewasa, Cornellia. Ada bayi kecil di perutmu. Lihat, ya dia lucu dan imut sekali." Ucap Mom sambil tangannya mengusap lembut kepala Fanny. Mata kedua Ibu itu saling menatap dengan air mata yang merebak.

" Maxwell sulit sekali dihubingi." Ucap Mama sambil berdecak.

"  Ya Mam. Terkadang sambungan untuk komunikasi di sana agak buruk. Apalagi jika musim penghujan dan cuaca mendung." Ucap Fanny menanggapi ucapan Mama. Mom menatap sedih anaknya.

" Bagaimana jika kau sedang merindukannya?" Tanya Mom sambil menggegam jemari Fanny.

" Aku akan menatapi photonya." Lirih Fanny dengan senyum terpaksa. Kedua Ibu itu menahan tangisnya dengan menutup mulutnya.

" Walau pun agak sulit membiasakan keadaan ini tapi ini keinginanku untuk menikah dengannya dan aku tahu konsekuensinya." Ucap Fanny setenang mungkin. Seolah dia ingin meredam kesedihan kedua Ibu yang kini memeluk pundaknya dari kedua sisi.

Ketiga wanita cantik itu berjalan beriringan. Kedua Ibu cantik mengapit calon Ibu cantik yang terlihat tersenyum begitu manis. Sepanjang selasar mereka saling berbincang tentang segala hal. Termasuk nama untuk si bayi. Padahal Fanny dan Maxwell menolak diberitahukan tentang jenis kelamin bayinya.

" Biarkan itu jadi kejutan dan aku akan memikirkan dua nama untuk bayi kita."

Begitu menurut Maxwell ketika mengantar Fanny memeriksakan kehamilannya, sebelum lelaki itu pergi bertugas. Fanny mengikuti saja kemauan Suaminya itu.

Kedua Ibu itu mengajak Fanny mampir ke baby's world. Tempat bermacam perlengkapan bayi dan karena mereka belum mengetahui jenis kelaminnya. Mereka memilih warna netral untuk si bayi. Merah, kuning, orange dan coklat.

" Sudah, rumahku kecil. Tidak akan bisa memuat semua barang itu." Ucap Fanny menatap setumpuk barang yang telah dibeli oleh kedua Ibunya itu.

" Kau akan pindah mulai saat ini, sayang. Maxwell telah membeli sebuah rumah di dekat cluster rumah kami." Ucap Mama yang membuat Fanny menatapnya dengan dahi berkerut. Lalu matanya beralih menatap Mom yang mengangguk meyakinkan.

" Dia tidak cerita padaku." Ucap Fanny sambil menggeleng.

" Ini kejutan, sayang. Suami keras kepalamu itu akan mengatakannya ketika bayi ini sudah lahir. Sebagai hadiah." Ucap Mama yang kembali diangguki oleh Mom. Fanny terpaksa tersenyum.

" Maxwell, kau memang lelaki yang sangat menyebalkan tapi aku sangat mencintaimu. Segeralah kembali. Aku teramat merindukanmu." Batin Fanny. Senyum terulas di bibir manisnya.


My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang