The first circumstances

2.3K 175 114
                                    

Tiga hari sudah Maxwell di rawat di rumah Fanny. Lelaki itu terlihat semakin membaik. Wajahnya tampak selalu melukiskan senyum cerah. Terlihat begitu segar. Tapi wajah itu akan menekuk kesal dengan geriap sendu jika Fanny tidak ada di sisinya.

" Pasien pasien di rumah sakit itu membutuhkanku, Maxwell." Ucap Fanny kesal, ketika suatu hari Fanny akan berangkat tapi di tahan oleh pelukan Maxwell yang begitu erat.

" Aku juga pasienmu." Ucap Maxwell dengan tidak berniat sedikit pun untuk mengendurkan pelukannya.

" Pasienku bukan hanya dirimu." Kekesalan terlihat menegas di wajah cantik Fanny. Maxwell malah menciumi sisi wajah gadis itu.

" Tapi aku ini pasien special yang memberikan pelukan dan ciuman kepada dokternya."

Fanny menatap sengit Maxwell yang dengan tatapan lembut menatapnya. Lelaki itu menyunggingkan senyum samarnya yang begitu menawan di mata Fanny.

" Oh my gosh, Maxwell. Kau pasienku yang paling menyebalkan, sangat susah diatur. Keras kepala sekali." Gerutu Fanny sambil meronta. Maxwell terkekeh, matanya menatap nakal Fanny.

" Ya, ya..Kau benar. Tapi aku sangat mencintai lelaki keras kepala dan menyebalkan ini." Ucap Fanny seakan tahu apa yang dipikirkan oleh lelaki itu.

Lalu drama itu akan diakhiri dengan ciuman yang sulit untuk dihentikan. Lumatannya akan terus menuntut saling menyambut. Sampai napas terengah dan detak waktu merambat, memanggil dokter itu untuk segera melaksanakan tugasnya. 

Lalu setelah tugasnya selesai, Fanny akan bergegas kembali ke rumah. Menemui pasien spesialnya yang dari tadi tidak henti mengiriminya pesan dan berkali menghubunginya untuk memintanya segera pulang.

Sore ini pun gadis itu melangkah ringan menuju rumahnya. Tatapan matanya berbinar dengan senyum melengkung manis di bibirnya. Lurus pandangannya menatap ke arah rumahnya. Dimana sosok tercintanya sudah menunggu dalam ketidak sabaran.

" Cornelia,"

Fanny terjengat mendengar sapaan itu. Hanya keluarganya di rumah yang memanggilnya seperti itu. Dengan sedikit ragu kepalanya berputar, mengarah ke arah suara yang memanggilnya.

" Mom." Lirih Fanny seolah tak percaya dengan penglihatannya.

Mata cantik gadis itu mengerjap untuk meyakinkan apa yang saat ini dilihatnya. Sosok dengan balutan dress mahal itu berdiri di samping sebuah mobil mewah. Wajahnya terlihat masih cantik, walau usianya sudah tidak muda lagi. Perlahan Fanny melangkah, menghampirinya.

" Mom." Ulangnya seolah memastikan setelah berada beberapa langkah di depan wanita cantik itu.

" Ya, aku datang. Ingin melihat tempat kerjamu yang baru. Pekerjaan yang teramat kau inginkan dan kau banggakan." Ada nada melecehkan dalam ucapan itu. Fanny hanya tersenyum.

" Mom, kita sudah sepakat." Ucap Fanny tenang.

" Ya, kesepakatan yang terpaksa karena kau mengancam akan pergi dari rumah dan tinggal di Campeche, bersama tantemu yang gila travelling itu."

Ucapan ketus wanita cantik yang dipanggilnya Mom itu, hanya ditanggapi tawa pelan oleh Fanny.

" Tapi kali ini, aku datang jauh jauh ke sini bukan untuk diancam dan menyetujui kesepakatan licik yang nanti kau ajukan." Ucap Mom dengan senyum simpulnya yang cantik.

" Maksud Mom?" Fanny menatap bingung wanita itu.

" Aku sudah membuat perjanjian dengan Jordan. Jika kau tidak bersedia menjadi modelnya, maka kau harus bersedia menjadi menantunya."

" Mom, are you crazy?" Pekikan Fanny menyambut ucapan yang begitu tenang keluar dari mulut Mom. Wanita itu tersenyum.

" Hari Sabtu besok kau harus pulang karena Jordan dan Rebecca akan datang ke rumah. Mereka akan menemuimu." Ucap Mom masih dengan nada tenang seolah tidak peduli dengan kekesalan yang tertangkap jelas di wajah Fanny.

" Oh my God. Come on, Mom. Jangan selalu memaksakan kehendak." Ucap Fanny kesal.

" What, memaksakan kehendak. No, dear. Kau yang selalu saja tidak bisa diatur. Tidak seperti kakak kakakmu yang selalu menurut." Ucap Mom dengan mata yang menatap tajam. Fanny berdecak.

" Kau selalu saja membanggakan mereka, Mom. Sementara aku, aku bukan siapa siapa di mata Mom." Ucap Fanny dengan suara meninggi. Mom menggeleng sambil tersenyum.

" Tidak, Cornellia. Kau tetap putriku. Walaupun kau hadir disaat yang kurang tepat. Kau jadi menghalangi kesibukan dan karierku yang sedang menanjak pesat, tapi aku tetap saja mempertahanmu karena kau darah dagingku."

Ucapan Mom yang tenang membuat sisi hati Fanny menghangat. Dia tidak pernah mendengar Mom berbicara seserius ini. Selama ini dia rasa lebih asik menghindari wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Hanya karena pernah mendengar keluh kesahnya kepada Dad tentang kariernya yang hancur karena kehadirannya. Fanny menggeleng gusar.

" Mom, bolehkah aku menolak perjodohan itu. Aku telah dewasa dan bisa mencari calon suamiku sendiri. Ehm, lebih tepatnya aku sudah mempunyai calon itu, Mom." Ucap Fanny sedikit pelan dan hati hati.

" Kau tidak bisa menolak untuk kali ini. Baiklah, Mom harus segera pergi dan kau pun harus kembali ke pasienmu. Jangan lupa Sabtu besok. Tolong jangan mempermalukan kami. Menurutlah untuk kali ini saja."

Fanny menegang di tempatnya. Tak sepatah kata pun mampu dia keluarkan untuk menanggapi ucapan Mom. Sampai wanita itu melambai menjauh dengan mobilnya, Fanny masih saja terpaku. Ciuman Mom di pipinya yang diterimanya sesaat sebelum wanita itu masuk ke dalam mobilnya, terasa begitu hangat. Butiran bening merebak membasahi pipinya.

" Mom, I'm sorry." Lirih Fanny.



My War Girl ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang