Bagian 22

10.7K 846 23
                                    

Happy reading!

♥♥♥

Sebelum membuka pintu rumah, Greta melirik arloji yang melekat di pergelangan tangannya. Pukul 18.30. Belum terlalu lambat dari biasanya ia pulang. Sebenarnya kalau tidak macet Greta pasti lebih cepat tiba di rumah. Sayangnya, maju satu meter pun butuh waktu banyak untuk mobil Ansel.

Biasanya Greta akan pulang tepat pukul 18.00 tiba di rumah. Lebih sedikit masih ditoleransi oleh Ambar. Tapi, dia tidak yakin untuk kali ini.

Lama sekali tangan mungil cewek itu menggenggam gagang pintu. Berkali-kali juga ia memberi pasokan udara yang cukup untuk paru-parunya. Tapi rasanya tetap saja ia takut dan gugup. Apa Ambar akan memarahinya lagi? Greta harus bersiap-siap.

Pintu terbuka dari dalam dengan disusuli suara menggelegar Ambar. Karena tiba-tiba, jadi Greta tidak bisa bersembunyi.

"Dia itu ngelayap ter--" Suara Ambar terhenti begitu melihat Greta sudah berdiri di depannya. Faren nampak menyusul dari belakang. Wajah kakaknya nampak cemas, dia takut Ambar akan melakukan yang tidak-tidak kepada adiknya.

"Ma, kita harus dengar dulu Greta dari mana. Mungkin ada rapat organisasi atau-- Aaaa! Mama?!" ucapan Faren berganti dengan teriakan histeris saat telapak tangan Ambar mendarat di pipi mulus milik Greta. Greta hanya diam sembari memegangi pipinya, matanya memerah menahan tangis.

"Dia pasti dari ngelayap, Ren! Itu kan kebiasaannya dia?! Dia pasti sengaja pulang telat karena males dengar ocehan mama! Hati-hati aja jadi anak durhaka!" semprot Ambar tanpa kira-kira. Bahkan untuk menahan air matanya pun Greta sudah tidak sanggup. Kepalanya tertunduk takut.

"Ma, malu didengar tetangga. Ini juga masih di luar rumah," peringat Faren namun diabaikan oleh Ambar.

"Biarin! Tetangga juga udah pada tau kalau Greta ini tukang ngelayap! Malu mama Gre, selalu disindir-sindir masalah kamu! Kapan sih kamu itu berubahnya?!"

"Greta udah berusaha, ma," cicit Greta sepelan mungkin. Untuk mengeluarkan suara pun ia takut.

"Habis dari mana kamu?!" tanya Ambar.

Greta mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap Ambar. Meski hanya dua detik. "D-dari kerja ma."

"Kerja?" beo Ambar meremehkan. Pasti Greta sedang berbohong! "Kerja apa kamu?!"

"Ng-ngurusin kucing, ma."

"Ngurus kucing?!" Ambar tertawa keras. "Bodoh jangan dipelihara Gre, mana ada kerjaan kayak gitu! Habis jalan sama pacar baru kan, kamu?!"

Kepala Greta sontak terangkat mendengar tuduhan sang mama. Ia menggeleng kuat. "Enggak ma, Greta enggak ada pacar."

"Bohong!" tandas Ambar membentak. "Ini." Ambar merampas bunga aster dari tangan Greta. "Ini buktinya. Pasti dari pacar kamu, kan?"

Greta menggeleng. Sungguh, itu memang bukan dari pacarnya! Kan, Ansel itu cuma kakak kelasnya, tidak lebih. "Bu-bukan ma. Ini Greta metik di jalan."

"Metik di jalan?" Ambar terkekeh meremehkan. Dalam hitungan detik, bunga itu dilemparnya ke lantai, lalu diinjaknya sampai kelopak bunganya tidak lagi berada di tempat.

"Ma, jangan ma!" Greta berjongkok, menahan kaki Ambar yang berniat semakin menghancurkan bunga pemberian Ansel.

"Katanya cuma metik di jalan, tapi kenapa sesayang ini?" ucap Ambar telak membuat Greta terdiam. "Kamu itu pembohong, Greta!" Ambar mendorong tubuh Greta yang sedang memeluk kakinya. Anak bungsunya itu masih menangis dalam diam. Sedangkan Faren terus berusaha menahan Ambar agar tidak melakukan lebih dari ini. Yang jelas, Faren dapat menyimpulkan, kalau benar bunga itu dari seseorang, pasti orang itu berarti bagi adiknya.

Bukan Hansel & GretelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang