Bagian 32

9.7K 806 19
                                    

Happy reading!

♥♥♥

Dulu, jam istirahat adalah waktu paling membahagiakan bagi Greta. Namun sekarang, semuanya berbanding terbalik. Kalau bisa, ia mau mengusulkan agar tidak perlu ada lagi jam istirahat. Benar, bumi memang berputar!

Tidak ada hal lain yang menarik minatnya saat ini. Masuk ke dalam ruangan penuh dengan buku-buku ini pun Greta terpaksa. Keyakinan bahwa tidak akan ada cacian yang menggapainya di tempat ini, itu lah yang membuat Greta berada di sini. Perpustakaan sekolah.

Cacing di perutnya telah memanggil-manggil sejak tadi. Satu tangan Greta menekan perutnya agar tidak lagi menimbulkan suara. Masalahnya, dia malu. Beberapa orang bahkan langsung menoleh akibat suara tersebut.

"Aduh, sabar dong ... lo enggak ngerti banget sih kalau gue lagi males ketemu orang-orang julid itu!" ujar Greta pelan pada perutnya.

Kekehan dari arah belakang membuat Greta menoleh ke sumber suara. Sang penyebab masalah berdiri di sana menggenggam sebungkus roti dan sekotak susu coklat. Tempat duduk kosong di samping Greta langsung diisi oleh Ansel.

"Nih, pasti lo lapar." Ansel menyerahkan roti juga susu tadi kepada Greta. Melupakan segala hal bernama gengsi, Greta lekas menyobek pinggiran bungkus roti dan memakannya dengan lahap, malah tergolong rakus.

"Btw itu enggak gratis ya," ucap Ansel membuat cewek di sampingnya langsung menoleh dengan mulut penuh.

Alis Greta berkerut, ia menelan sisa roti di dalam mulut. Lalu menyesap susu coklat sedikit barulah bertanya, "Maksudnya?"

"Ya bayar lah! Sepuluh ribu cukup." Ansel memandangi kedua benda di tangan Greta seolah sedang menghitung harganya.

"Iss, dasar medit!" maki Greta sembari merogoh saku bajunya. "Nih!" Ia memberikan selembar uang berwarna ungu kepada Ansel. Tadinya dia pikir cowok itu akan menolak karena sedang bergurau. Eh, ternyata benar-benar diambil! Sialan. Ternyata Ansel itu pelit juga, bertambah satu lagi sifat buruknya.

Ansel mengerutkan alis ketika Greta masih menatapnya. "Kenapa? Enggak ikhlas?"

Greta mendengus sebal, lalu menggigit roti penuh emosi. Dasar cowok pelit! Begini saja perhitungannya minta ampun! Untung Ansel itu atasan yang akan memberinya gaji. Kalau gelar cowok itu tidak lebih dari kakak kelas, sudah Greta pastikan wajah sok kegantengan tapi memang ganteng Ansel itu sudah sama seperti aspal!

"Oh iya, lo udah gue masukin ke grup wa ekstra basket," ucap Ansel tiba-tiba.

"Bodo, nanti tinggal keluar."

"Enak aja. Enggak bisa seenaknya gitu, dong!"

"Memangnya siapa yang daftar basket? Aku? Enggak pernah tuh aku daftar."

"Terserah. Pokoknya lo udah terdaftar jadi anggota basket. Setiap latihan gue jemput."

"Jemput aja, enggak akan dibukain pintu juga."

"Tau ah!" Ansel menyerah. Ia mengalihkan pandangan ke lain arah. Tidak lama, karena kemudian ia kembali menatap Greta yang sudah selesai makan. "Bungkus makanannya sembunyiin, nanti kalau dilihat pengawas, lo bisa didenda," tegur Ansel yang langsung dituruti Greta. "Ada nyali juga lo ke sini," ucap Ansel lagi.

Greta menghela napas pelan. Jika hanya melihat dengan mata, memang terlihat aneh. Greta memilih bersembunyi di perpustakaan yang tentu untuk menjangkaunya Greta harus melewati koridor kelas sebelas. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Daripada tetap di kelas, pasti akan ada banyak kakak kelas yang berkunjung. Enak kalau berkunjung bawa makanan, lah ini bawa cacian. "Iya lah, memangnya kakak, yang buat klarifikasi aja enggak ada nyali," sinis Greta tanpa menatap sang objek.

Bukan Hansel & GretelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang