Bagian 45

10.6K 951 184
                                    

Nging... Nging... Nging...

Cletak! Cletak! Cletak!

Suara nyamuk, dilanjut suara tepukan Ansel untuk membunuh nyamuk tersebut terus berulang hingga berkali-kali. Cowok itu berdecak kesal. Bisa-bisa dia berubah menjadi vampir sungguhan! Greta bilang, dia hanya mau memberi makanan kepada Bintang. Tapi nyatanya, cewek itu tidak juga keluar sampai sekarang.

Tangannya merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan benda pipih bernama ponsel dari dalam sana. Ia segera menelepon Greta.

"Eh lo jangan ganggu dulu ngapa sih?!" kesalnya pada nyamuk yang terus berdengung di telinganya tanpa menampilkan wujud. Bukan tidak menampilkan wujud sih, tapi Ansel yang tidak melihat wujudnya.

Lama sekali Greta tidak menerima panggilan darinya. Hingga kemudian, telepon terhubung dan langsung saja Ansel mengocehi cewek tidak ingat waktu itu. "Woy, gue bilang daritadi buruan juga! Lo ngapain aja sih?!"

"Iya, kalau Om Bintang masih mencintai Tante Bulan, harusnya om mau menurunkan ego, pikirkan dan melibatkan hati. Logika, ego, sama hati, harus sejalan om. Jangan ego doang yang diunggulkan," ucap cewek di seberang sana. Tentu saja Ansel kebingungan dibuatnya.

"Hah?"

"Kalau begitu ... kamu mau bantu saya minta maaf sama Bulan?" Itu suara Bintang.

"Om serius?"

Tutt.

Secara gerak refleks, Ansel memutuskan panggilan, dengan wajah melongo. "Papa bilang apa tadi?" Ia tertawa layaknya orang bodoh, lalu kembali bicara, "Kayaknya kuping gue udah mulai penuh kotoran."

Ia terus tertawa seperti orang bodoh. Tidak keras sih, tapi terlihat seperti orang tertawa dibuat-buat. Terus seperti itu hingga Greta muncul di depannya. Cewek itu yang baru saja datang, tentu merasa aneh melihat tingkah Ansel. Apakah cowok itu kerasukan? Ah, miris sekali. Masa kerasukan setan gila seperti ini. Tidak ada yang lebih gagah dikit, apa?

Eh?

"Kak Ansel?" Greta mengibaskan tangannya di depan wajah Ansel. Awalnya, cowok itu terlihat seperti orang linglung. Membuat Greta was-was kalau Ansel beneran kesurupan.

"Dokter THT jam segini masih nerima orang enggak sih?" tanya cowok itu dengan wajah yang--aih, hilang pokoknya kadar ketampanan cowok itu.

"Hah? Kak Ansel sakit?"

Dengan semangat, Ansel menganggukkan kepalanya. "Iya, kuping gue bermasalah kayaknya."

"Maksudnya?"

"Gini." Ansel berdiri dengan benar, lalu menghadap Greta. "Tadi, gue dengar di telepon, papa gue mau minta maaf sama mama gue. Argh, kayaknya gue harus konsultasi ke mama gue juga. Siapa tau gue mengidap penyakit halusinasi berlebih." Cowok itu menghembuskan napasnya kasar sembari menggeleng-geleng berusaha tersadar.

Greta sendiri berusaha untuk mengulum tawa yang sangat ingin meluncur. Pasti tadi dia tidak sengaja menerima telepon dari Ansel, makanya cowok itu bisa mendengar ucapan Bintang. "Ehem, aku pernah kak baca di internet, gejala kayak yang kakak sebut itu, termasuk gejala penyakit ... apa ya? Serem pokoknya! Kak Ansel bisa gila, depresi, terus bunuh diri!" ujar Greta usil untuk menakut-nakuti cowok itu. Ekspresi cewek itu pun sangat meyakinkan. Membuat Ansel bergidik ngeri.

"Terus, udah ada kasus bunuh diri karena penyakit itu?" tanya Ansel dengan ekspresi serius.

Sepertinya otak Ansel memang sedang tidak berfungsi. Bagaimana bisa dia percaya ucapan ngawur Greta?

"Ada kak! Penyakit itu termasuk langka, susah diobati."

"Lo serius? Kalau gitu sekarang gue harus pulang, minta maaf sama mama gue karena enggak berhasil nepatin janji bawa papa pulang, sebelum gue jadi nambah parah! Terus gue juga--"

Bukan Hansel & GretelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang