Dua garis merah yang tertera pada testpack yang Lisa pegang membuat tubuh gadis itu merosot ke lantai kamar mandi. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya pasti bermasalah, ia tidak mungkin hamil.
Lisa tidak ingat bagaimana ia bisa berakhir di atas ranjang -- bersama lelaki yang bahkan berbicara basa-basi saja Lisa tidak sudi -- dan melakukan hal itu. Namun mengingat keduanya bertemu saat pesta ulang tahun teman kampus mereka, Lisa tahu di tanggal itu ia sedang tidak dalam masa suburnya. Jadi, meski keesokan harinya ia dibuat sakit kepala, Lisa pikir ia tidak akan hamil.
"Tenang Lisa, tenang. Tarik nafas... hembuskan..." Ujarnya bersamaan dengan rongga dadanya yang naik turun, menyaring oksigen.
Dia belum siap. Hell, mana mungkin ia bisa siap? Lisa masih ingin hidup normal seperti perempuan seumurannya yang lain; bersenang-senang, lulus kuliah lalu bekerja di tempat yang prestigious. Sekarang rasanya semua keinginan itu hancur begitu saja, tergantikan kenyataan bahwa dalam satu tahun ia akan menyandang status sebagai seorang ibu.
Terlebih lagi, apa yang akan dia katakan kepada kedua orangtuanya? apa ayah dari bayinya akan bertanggung jawab atas janin yang ada di rahimnya?
Sial. Rasanya Lisa ingin menangis, hanya tidak ada satupun air mata yang dapat keluar. Ia takut. Namun lebih marah pada dirinya sendiri, karena kalau saja ia mendengarkan larangan sang ibu malam itu, hal ini pasti tidak akan pernah terjadi dan ia masih bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa.
"Kak?" Suara adiknya, Lucas, membuat Lisa kembali ke alam sadarnya. Buru-buru ia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu memasukan kembali testpack yang semula ia pegang ke dalam bungkusannya. Setelah mengantongi bungkus plastik tersebut, Lisa beranjak dari kamar mandi.
Sampai kepada hari ia mempunyai keberanian untuk mengaku, Lisa harus merahasiakan kabar kehamilannya.
Lagipula, masih ada kemungkinan jika hasil testpack tidak akurat. Maka dari itu, ia harus berhati-hati agar tidak ada satupun orang yang melihat dua garis merah tersebut.
"Berapa kali gue bilang ketok pintunya dulu," Ujarnya sedikit ketus.Meski hubungan keduanya baik, Lisa tidak suka apabila adik laki-lakinya itu keluar masuk kamar milikinya sesuka hati.
Lucas yang tengah berdiri di samping tempat tidur sang kakak menggaruk tengkuknya, paham bahwa kakaknya sangat benci saat orang lain memasuki kamar tidurnya tanpa ijin. "Hehehe maaf," Balasnya dengan cengiran khas yang terlukis.
Masih dengan wajah datarnya, Lisa mendudukan diri di atas kasur dan mendongak pada Lucas. "Ngapain?" Tanyanya kemudian.
Lucas menunduk, lalu mengerjapkan matanya dengan wajah yang sedikit bingung. "Makan malamnya udah siap," Sampainya kemudian dengan sebuah senyuman tipis. Kakaknya sedang dalam mode galak, jadi ia tidak akan banyak bertingkah.
Lisa mengangguk, kemudian mengusak rambut sang adik. Di saat seperti ini, sebesar apapun keinginannya untuk menghindari Lucas, ia harus bisa bersikap normal. Maka tanpa banyak berbicara, sepasang adik kakak itu menuruni tangga menuju ruang makan tempat makan malam akan tersaji.
Di meja panjang yang memuat delapan kursi tersebut, Lisa dan Lucas mengambil tempat duduk di masing-masing ujung meja dan dengan tenang menunggu pelayan rumah menyajikan satu persatu hidangan yang sudah dimasak.
Uniknya, saat nasi putih tersaji, Lisa merasakan mual yang amat luar biasa. Ia hampir saja memuntahkan isi perutnya, jika tidak dengan cepat menyadari bahwa hal tersebut adalah reaksi kehamilannya.
Dengan mata yang menyipit dan hidung yang menahan nafas, Lisa kembali memanggil pelayan rumahnya. "Bisa tolong jauhkan nasi putihnya dariku? Taruh saja dekat Lucas," Pintanya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] PREGNANCY (jjh.lmb)
FanficDua garis merah yang tertera di alat pendeteksi kehamilan, membuat Lisa tidak mempercayai penglihatannya. Pusat sarafnya menolak untuk percaya, namun fakta tetap tidak berubah: ia hamil. Seharusnya Lisa bahagia, namun hal itu tidak dapat ia rasakan...