"Ibu nggak mau tahu, besok itu juga kamu harus daftarin pernikahan ke KUA!"
Aaron masih diam, terlihat cukup tenang meski telinga kanan-kiri mendapat tekanan dari dua belah pihak. Dia berdiri tepat di depan pintu rawat inap Andrea. Sang kekasih, sedang menjalani bedrest karna kehamilan mudanya terlalu menguras energi. Rasa mual tak pernah berhenti membuat Andrea harus mendapat tenaga lain dari infus.
Helaan napas terdengar. Dari sekotak kaca yang ada di pintu kamar inap, Laras mengintipi calon mantu yang masih tergolek lemas di ranjang rumah sakit.
"Kasihan. Dulu Ayahmu yang begitu, Ibu nggak pernah terserang morning sick, jadi Ibu nggak tahu rasanya kayak apa."
Aaron menoleh ketika lengan kirinya dibelai seseorang. Tatapan sendu terpancar di wajah Lasmi. Wanita yang kini mengenakan selendang untuk menutupi kepalanya seperti hijab, datang ke rumah sakit bersama Laras dan Akssa.
"Kamu udah telat, Nak Aaron. Tapi nggak ada jalan yang lebih baik selain kalian nikah."
"Maaf, Bu."
Lasmi menggeleng. "Perbaiki kesalahanmu. Dosa-dosamu, dosa-dosa Andrea, cuma masing-masing kalian yang nanggung. Kesalahan itu pilihan kalian, jadi tanggung jawab." Dengan senyum sendu, Lasmi akhirnya menyingkir.
Aaron lagi-lagi menghela napas. Pandangannya kembali ke kotak kaca di pintu, melihat Andrea terbaring lemas di ranjang rumah sakit, dengan satu infuse berada di punggung tangan kiri. Kondisi itu sangat tidak mengenakan untuk dilihat. Aaron kira morning sickness yang akan dihadapi Andrea tergolong biasa, ternyata sampai parah membuat Aaron tak tega dengan hamilnya Andrea.
"Kamu nyesel?"
Kedua mata Aaron mengerjap sekali. Dia menoleh pada Laras. "Hm?"
"Kamu, nyesel sama perbuatanmu sendiri?"
"Tentu."
Dengan sayang Laras membelai rambut Aaron, pelipis, lalu memar bekas tonjokan Axel dua jam lalu. Laras sedikit menekan memar tersebut sampai Aaron menjauhkan kepalanya singkat.
"Menyesal tanpa bertindak itu nggak ada gunanya. Nikahi Andrea, habis itu kamu ajak ngobrol Ayah, dia shock tahu Andrea hamil duluan."
Seulas senyum terbentuk di bibir Aaron. "Why? Aku yang menghamilinya bukan Ayah."
Mendengar candaan keluar dari mulut Aaron di kondisi seperti sekarang, Laras melotot. "Ssshh, dibilangin serius malah bercanda."
Aaron terkekeh kecil, lalu mengangguk beberapa kali. Dia hanya berusaha menenangkan hati Laras yang mendapat kabar Andrea hamil. Jauh dalam lubuk hati, Aaron sangat menyesal. Dia mengecewakan Laras dan Akssa, bahkan tepat di dua malam nikmat bersama Andrea, Aaron tak mengingat secuil pun tentang bagaimana kedua orang tuanya. Dia dibuat lupa oleh hal bernama zina. Hal yang sebenarnya berulang kali dilakoni Aaron, tetapi baru kali ini dia merasakan penyesalan terhebat. Bukan tentang Andrea, dia menyesal membuat Akssa dan Laras harus merasakan kecewa.
"Aku akan bicara sama Ayah." Aaron melempar senyum menenangkan.
Laras mengangguk, mungkin sudah saatnya ia melepas Aaron. Tidak akan melindungi anak pertamanya dari amukan sang suami. Sekali saja, Aaron harus tahu bahwa membuat kecewa orang tua adalah opsi terakhir yang sebenarnya tidak perlu digunakan.
***
Pening di kepala terlalu mendominasi saat Aaron terlempar mundur beberapa langkah. Dia memggeleng cepat, mencoba mencari titik fokus setelah satu tinjuan menampik rahang kirinya. Di depan lorong kamar mayat yang sepi, Aaron terengah dan hampir menitikkan air mata sejak Akssa melayangkan pukulan terakhir. Memang tidak terlalu parah rasa sakit yang dialaminya, tapi Aaron sesak karna tahu seberapa kecewa Akssa saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
• One Night In the Air •
Romance(17/21+) [COMPLETE] dipublish 12 Desember 2019 - tamat 23 Januari 2019 POV 3 [Aaron & Andrea] Dia lagi, dia lagi. Setidaknya itu yang membuat Andrea muak setelah menghadapi wajah Aaron beberapa hari terakhir. Andrea pikir, lelaki itu seperti tidak a...