10. Simbol

6.9K 614 92
                                    

Aaron terus mengamati tingkah Andrea yang mengecek satu-persatu ruang di rumah baru mereka, membongkar belanjaan kemarin, sampai dengan menyapu lantai berdebu di beberapa tempat dengan lima AC yang menyala sangat dingin. Semuanya diperhatikan Aaron bukan karna lelaki itu ingin, tetapi karna Aaron masih memikirkan tentang senyum miring dari Axel beberapa jam lalu. Otak Aaron seakan beku dan tidak bisa fokus ke lainnya.

"Aaron!"

Yang dipanggil mengedipkan mata dua kali, baru sadar kalau sejak tadi dia melamun.

"Hm, ya?"

"Perutku mules," bisik Andrea tiba-tiba dengan ekspresi pucat.

Sesaat Aaron tidak paham apa maksud ucapan Andrea, tetapi beberapa detik meneliti wanita di depannya yang terlihat gelisah memegangi perut, Aaron mengerti. Sekali lagi dia mengedipkan mata lalu beranjak dari sofa mini, perabot utama yang memang sudah ada di rumah tersebut, termasuk tempat tidur, kitchen set, dan lemari.

"Mules?"

"Banget. Mau muntah."

Aaron berdiri seperti orang linglung. Dia menyuruh Andrea duduk di sofa lalu mengambil ponsel di saku, menghubungi seseorang yang mungkin bisa membantunya di kondisi seperti sekarang. Dia tidak ingin menambah kekhawatiran Andrea yang tiba-tiba saja merasakan mulas dan ingin muntah, jadi Aaron memilih berjalan menjauh untuk menghubungi seseorang.

Nada dering terdengar beberapa kali, tetapi belum terangkat. Aaron terpaksa membatalkan sambungan setelah mendengar Andrea muntah di belakang. Aaron segera mendekat, mengurut tengkuk wanita itu yang dia yakini sudah lemas.

Tanpa bicara sedikit pun, Aaron justru membawa tubuh lemas Andrea ke dalam gendongan. Mereka pergi ke kamar utama, lebih tepatnya kamar mandi. Aaron berusaha mengurus Andrea yang terus muntah-muntah di depan toilet.

"Keluarkan."

Andrea menggeleng lemah. Tidak ada satu tetes pun cairan atau lendir yang keluar dari mulutnya. Andrea hanya mual-mual. Ada sesuatu yang membuat perutnya seperti dibalik secara mendadak.

"Emh!" Kedua tangan Andrea mencengkeram bibir kloset erat. Kali ini ia benar-benar memuntahkan banyak lendir.

"Hhrh ... Aaron, hhrgh ... aku pusing."

"Selesaikan dulu," perintah Aaron masih terlihat tenang, tetapi tidak menutup kemungkinan lelaki itu panik setengah mati.

Masih sambil memijit tengkuk Andrea, ponsel di saku Aaron bergetar membuat lelaki itu mengangkatnya.

"Bu."

"Hoek ...."

"Aaron?? Siapa itu?!"

Aaron melirik pada Andrea yang masih duduk di lantai dengan kepala menjulur ke dalam kloset.

"Andrea. Dia muntah-muntah."

Hening merayapi sambungan telepon. Memberikan kesan horor untuk Laras yang seketika ikut takut. Aaron tahu, dia barusaja melemparkan kotoran ke Laras secara tak langsung. Dengan membuat Andrea hamil di luar nikah, sama saja dirinya mempermalukan sang Ibu dan Ayahnya.

"Cek ke kandungan. Berdo'a supaya dia nggak hamil."

Sambungan ditutup secara kasar. Kepala Aaron seketika penuh dengan masalah baru yang bermunculan, membuatnya pening mendadak.

Suara flush air menyadarkan Aaron yang harus bertindak cepat juga. Lelaki itu membantu Andrea bangkit ke wastafel, membersihkan mulut dan wajah kemudian berbalik menghadap Aaron.

"Tas. Ambilin tasku." Andrea terengah. Kedua matanya kelihatan sembab seperti habis mengeluarkan air mata selama muntah.

Aaron menuruti perintah sang kekasih. Dia keluar dari kamar mandi dalam kamar untuk mengambil tas Andrea yang ada di sofa ruang tamu. Begitu memberikannya pada Andrea, Aaron bisa melihat wanita itu sibuk membongkar tas dengan napas masih terengah juga ketakutan.

• One Night In the Air •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang