13. Ya dan Tidak

8.6K 727 56
                                    

"Jadi, Tante kapan bisa ke rumahmu?"

Jantung Andrea berdebar kencang. Ia belum bersuara karna takut salah. Sementara Aaron yang juga mendengar justru ikut memilih diam. Mereka semua makan siang di rumah Akssa dengan topik lamaran yang sedang hangat.

"Kok enggak jawab, Dre?"

"Ng ... kapan, ya?" Andrea meringis tak enak hati. "T-terserah Tante aja sama Aaron maunya kapan."

"Nanti malem."

Kedua mata Andrea melotot, sedangkan Laras mencibir karna suami dan anaknya bicara bersamaan. "Satu hati ya kalian."

Laras menatap Andrea sambil menyuapkan sesendok nasi dan mengunyahnya pelan. "Gimana? Nanti malem bisa?"

"T-tapi, Tante ... masalahnya." Aduh, gue harus ngomong apa ini .... Mana rumah kayak kapal pecah lagi.

"Nggak usah bingung, nggak perlu harus prepare ini-itu. Tante sama Om cuma mau ngomong ke Ibumu. Nggak masalah 'kan kalau kami dateng nanti malem?"

Senyum tulus terlihat di wajah Laras. Sebenarnya, kalau boleh Andrea jujur, ia masih ragu kenapa bisa Laras dan Akssa berubah baik kepadanya. Takut seandainya nanti ia dan Lasmi menyambut kedatangan keluarga Aaron di rumah, mereka hanya akan mengolok-olok rumah reyot itu. Andrea tidak mau dan tidak berani membayangkan hal tersebut.

"Sebelumnya, Andrea masih agak ragu, Tan."

Semua kepala mendongak kecuali Darren yang sibuk bermain ponsel sambil makan.

"About what?" Aaron lebih dulu bertanya.

Tidak ada ekspresi serius dan lainnya, lelaki itu hanya menatap Andrea santai. Kedua tangan Aaron bahkan masih sibuk mengaduk makanan di piring. Terlampau masa bodoh.

Jadi ia harus menikah dengan lelaki itu? Kenapa kadang Andrea berpikir Aaron seperti pengidap bipolar? Sesekali romantis, manis, harmonis bersamanya, di lain waktu juga Aaron kasar dan kelewat tidak peduli.

"Pertama Andrea ke rumah ini, kalian, ng ... sedikit menolakku. Jadi, kenapa sekarang ... ya, gitu lah." Kedua tangan Andrea bergerak-gerak di udara. Seakan-akan jika hanya menggunakan mulut untuk mejelaskan, semuanya masih percuma.

Laras tersenyum paham. Wanita itu mulai keluar dari rasa tegang setelah mendengar Andrea belum siap. "Because every human being change, Andrea."

Sendok dan garpu diturunkan ke pinggiran piring oleh Laras. Kedua tangan wanita itu terangkum di atas meja. Sekilas, Laras menatap Akssa yang sedang mengunyah makanan dan tersenyum.

"Tante sama Om lihat kalian berdua di teras, pelukan, so touched. Apalagi waktu Aaron kasih cincin ke kamu."

Seketika Aaron terbatuk tak tertahankan. Kedua matanya bahkan melotot. Andrea harus memberikan segelas air putih untuk lelaki itu supaya berhenti terbatuk.

"Lebay." Laras terkikik geli. "Momen itu langka, lho. Dan dari situ juga Tante sama Om lihat kesungguhan kalian. Minus ... pergaulan kalian udah terlalu jauh."

Andrea merona. "Maaf, Tante. Kalo tahu kejadiannya kayak gini, Andrea nggak akan mabuk di Moana sampe buat Aaron lupa diri."

Gatal di tenggorokan Aaron semakin menjadi. Lelaki itu bahkan harus pamit berdiri dan pergi ke kamar mandi. Sial, batin Aaron tak habis pikir. Dia hampir saja mati tersedak setelah malu.

"Semua punya masalah sendiri-sendiri, dan Tante harap besok setelah kalian resmi, nggak akan ada lagi masalah besar yang maksa Tante sama Om buat turun tangan. Oke?"

Andrea mengangguk senang. "Oke, Tante." Wanita itu lantas menatap Akssa dan tersenyum hormat, senyuman yang juga dibalas hangat oleh Akssa.

"Gue lagi makan, tunggu dulu—iya, oke, oke." Darren tiba-tiba meninggalkan piringnya dan beranjak pergi menerima telepon.

• One Night In the Air •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang