Kedua mata wanita berusia 25 tahun itu memicing. Ada sesuatu dalam dirinya yang meneriakkan kata bosan saat kembali bertemu dengan lelaki itu lagi. Dia, yang satu bulan terakhir selalu mengunjungi bank dengan alasan mencetak rekening koran. Dia, yang selalu duduk diam dengan tatapan meneliti dan ekspresi datar. Dia, yang bahkan membuat Andrea berjanji untuk tidak akan mengencani lelaki setipe itu.
Suara mesin print menginterupsi Andrea yang masih menatap memicing pada lelaki di depannya. Dengan terburu, Andrea mengumpulkan hasil print out yang barusan selesai kemudian beranjak dari tempat duduk. Ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada nasabahnya, membawa enam lembar rekening koran yang harus mendapat tanda tangan.
"Buk!" Seseorang menyeret tangan Andrea dan membisik, "Gebetan lo? Mampir mulu tiap hari?" Wanita itu terkikik menggoda Andrea.
Sesaat, Andrea melirik ke belakang. Menatap lelaki ber-jas yang kini tengah bermain ponsel. Menunggu Andrea kembali membawakan apa yang diminta.
Andrea mendesah. "Gebetan dari Hongkong! Cowok dingin sekelas dia nggak level sama gue." Andrea melanjutkan langkah bersama teman seperjuangannya saat bekerja di bank, Dian.
"Lo kurang cantik ya, Buk? Makanya lo tahu diri bilang nggak level sama dia." Dian menyenggol kecil lengan Andrea.
Merasa kesal, Andrea mencubit bibir Dian yang kalau menggunakan lipstik selalu tebal. "Sembarangan mulut lo! Cewek se-seksi gue nggak akan sudi nge-gebet cowok dingin kayak gitu."
"Karena ...?"
Andrea dan Dian berhenti di depan pintu manager bank. Sesaat Andrea melirik ke kanan-kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan dengan Dian.
"Karena ... orang setipe dia tadi, nggak akan asik kalo diajak main ranjang. Setuju sama gue?" Andrea mengedipkan sebelah mata.
Dian yang mendengar lantas menutup mulut rapat-rapat. Ia mengangguk setuju. Memang. Mereka bukanlah dua orang suci yang membatasi diri untuk mengenal perbuatan hina. Bukan semata kesalahan dari diri mereka sendiri, tetapi jaman sudah mulai berubah menjadi terlalu modern. Sampai-sampai, pikiran tiap orang pun semakin maju dan tak lagi mengenal apa itu virginitas.
"Well, lo nggak bisa sepenuhnya bilang gitu, Dre. Karna gue masih sangsi sama lo." Dian menyimpan kedua tangan di pinggang. Ia melirik Andrea dengan tatapan meremehkan. Terakhir, Dian tersenyum saat tatapannya turun ke bagian selangkangan Andrea. Wanita itu seakan menggoda apa yang ada dalam rok pensil temannya.
"Gue sangsi ... sebenernya lo belum pernah ngelakuin itu."
***
Andrea kembali duduk ke kursi kebesarannya. Tanpa senyum ramah yang harusnya ia persembahkan kepada si nasabah, Andrea hanya memasang ekspresi biasa saat memberikan enam lembar rekening koran permintaan lelaki di depannya.
"Bapak Aaron Aramazd," ucap Andrea mengeja nama si pemilik rekenik.
Aaron menerima enam lembar tersebut kemudian mengeceknya dengan teliti. Bukan karena ia ingin mengulur waktu, tetapi karena teliti seakan menjadi nama akhir untuk Aaron.
Merasa tidak kunjung pergi, Andrea menyangga kepala dengan satu tangan. Wanita itu menatap Aaron bosan. Sebenarnya lelaki itu tampan, seperti punya darah campuran yang membuat Andrea sedikit terpesona. Hanya sedikit, karena ia sudah lebih dulu bosan melihat Aaron terlalu introvert. Sulit digoda meskipun Andrea sudah berkali-kali berdiri dan menampilkan kedua paha mulus di balik rok mininya.
"Sebenarnya, tujuan kamu cetak rekening koran buat apa?"
Aaron sedikit terkejut mendengar Customer Service bank yang beberapa hari terakhir terus dia temui, menanyakan tujuan dari apa yang dia minta. Lelaki itu menutup lembaran di tangannya. Dia menatap wanita berambut sepunggung yang punya satu tahi lalat manis di ujung hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
• One Night In the Air •
Romantizm(17/21+) [COMPLETE] dipublish 12 Desember 2019 - tamat 23 Januari 2019 POV 3 [Aaron & Andrea] Dia lagi, dia lagi. Setidaknya itu yang membuat Andrea muak setelah menghadapi wajah Aaron beberapa hari terakhir. Andrea pikir, lelaki itu seperti tidak a...