Sehari sebelum Radja sakit.
Pikiran Radja kacau, ia mengacak rambutnya kasar. Disaat seperti ini Radja hanya ingin pulang ke tempat asalnya. Dengan terburu-buru Radja menaiki motor nya lalu melesat secepat angin.
Diperjalanan pun pikirannya masih melayang-layang. Radja tak menghiraukan kaos putihnya yang sekarang telah menempel di badan akibat hujan yang semakin menderas.
Ini adalah untuk pertama kalinya Radja kembali mengingat masa lalunya setelah bertemu Ella. Sebelumnya, Radja selalu bermain dengan salah satu zat adiktif yang menghasilkan asap, rokok. Berbatang-batang rokok bisa ia habiskan dalam waktu kurang dari dua belas jam. Tapi, setelah mengenal Ella kebiasaan tersebut hilang dengan sendirinya. Mungkin karena Ella yang tak menyukai bau rokok.
Setelah empat puluh lima menit lamanya Radja mengendarai sepeda motor, sekarang ia sudah berada di sebuah pondok bercat dominan putih dan biru layaknya langit yang bersih.
Radja tak memperdulikan jika ia akan sakit karena hujan-hujanan. Dirinya sudah terbiasa merasakan sakit lebih parah lagi.
Tok..tok..tok..
Radja mengetuk pintu kayu yang terukir indah. Tak lama kemudian seseorang menjawab ketukkannya.
“Iya—eh nak Bintang?” Radja tersenyum kepada wanita yang berada di depannya kali ini. Wanita ini selalu membuat Radja kagum dengan pesonanya. Rambut sebahu dan kaca mata bulat membuat wanita ini terlihat sangat anggun.
“Ayo, masuk,” ucap wanita tersebut sambil membuka pintu untuk memberi jalan kepada Radja.
“Yang lain pada kemana?” tanya Radja tak lepas dengan senyumnya.
“Mereka lagi bermain di taman belakang.” Radja menjawab dengan anggukan.
“Kamu ke sini hujan-hujanan?” wanita tersebut melihat Radja dengan nada khawatir.
“Mba Dina, Radja boleh diem di sini gak?” Wanita tersebut bernama Dina. Dina tersenyum lalu mengangguk pelan.
“Mau dibuatin minum?” Radja menggeleng.
“Kalau gitu saya tinggal dulu. Anggap rumah sendiri,” ucap Dina lalu pergi meninggalkan Radja yang terduduk di sofa berwarna coklat muda.
Pikiran Radja terasa jernih kembali, memang seperti kembali pulang ke rumah. Dilihatnya setiap sudut rumah ini yang masih terlihat sama saat terakhir dipandangnya.
Sekarang ekor mata Radja menatap sebuah boneka bunga matahari yang sedang membawa rangkaian bunga kecil ditangannya yang seperti daun. Radja tersenyum lalu seperti mengingat seseorang.
“Fransisca Animarcella,” gumam Radja.
Saat ini yang sedang menari bebas dipikirannya adalah Ella. Boneka tersebut seperti Ella. Bunga matahari yang indah dengan nama matahari berarti panas atau hangat yang bisa mencairkan es sebeku apapun. Lalu rangkaian bunga yang dibawa boneka itu seperti rangkaian kebahagian.
Yakali gue kangen?-batin Radja.
Hari sudah mulai gelap, setelah makan malam bersama yang lain, Radja memutuskan untuk pulang agar orang tuanya tidak merasa khawatir. Atau sudah menghubungi polisi? Mungkin tidak, karena mereka tahu sendiri kebiasaan anaknya jika sedang kacau.
Segala beban ia pikul yang terasa hilang beberapa hari ini ditanamanya baik-baik pada pondok tersebut.
Esoknya.
Badan Radja terasa panas, sebelumnya ia sudah berniat untuk ijin tidak sekolah karena sakit tetapi sebuah deringan ponsel menghentikan langkahnya yang ingin berbaring. Pikir Radja mungkin orang tuanya yang merasa bersalah karena harus keluar kota disaat Radja sakit. Ternyata tidak. Panggilan tersebut dari orang yang beberapa bulan terakhir ini terasa familiar. Tante Fatin.
“Halo tante.”
“.....”
“Iya, ada apa tante?”
“.....”
“Jemput? Tumben, kenapa emangnya tan.”
“.....”
“Oh kalau begitu, Radja segera ke sana secepat mungkin.”
“.....”
Panggilan tersebut diputuskan oleh Mama Dea setelah percakapan terakhir. Radja lalu memilih untuk mengantar Ella lalu pergi ke sekolah asal orang tuanya tidak tahu, ini bukan masalah yang besar. Lagian dia cuma panas, pikir Radja.
“Eh, den. Mau ke mana?” tanya Bik Rini.
“Sekolah, bik. Radja berangkat dulu ya,” ucap Radja sambil mencium tangan Bik Rini.
“Bukannya kamu mas-” ucapan Bik Rini terpotong karena Radja melangkahkan kakinya sambil menyahut.
“Radja udah mendingan.”
***
Hari ini.
“Pelajaran hari ini saya cukup kan, minggu depan kalian harus sudah siap dengan kelompok masing-masing.” ucap Pak Banu—guru seni musik—mengakhiri kelasnya.
Setelah Pak Banu tak terlihat dari balik pintu, seluruh kelas menjadi riuh. Tugas seni musik kali ini adalah bernyanyi bersama kelompok. Satu kelompok beranggotakan sebanyak empat orang. Dua dari keempat anggota tersebut diharuskan memainkan alat musik, sedangkan yang lainnya bernyanyi.
“Gue ikut dong sama lo, La,” mohon Aulia.
“Harusnya gue yang ngomong gitu, bege.” Aulia terkekeh lalu beranjak ke meja Haikal.
“Woy, lo kelompoknya sama siapa aja?” Haikal yang sedang asik dengan gitarnya menatap Aulia.
“Gue, lo sama Ella,” ucap Haikal sambil tersenyum. Aulia mengernyitkan dahinya lalu mengendikan bahunya.
“Yaudah lo cari deh anak-anak genk band lo. Gue sama Ella terima beres doang, ya gak La?” tampak Ella dari bangku seberang tersenyum lebar. Haikal mendengus kesal, “Siapa yang nyanyi?” tanya Haikal yang sudah pasrah disuruh mencari kelompok.
“Ya, lo lah!” bentak Aulia.
“Dih udah gue nyari kelompok trus nyanyi lagi. Lo kerjanya ngapain aja?!” protes Haikal karena pembagian tugas yang sangat tidak adil.
“Eh budeg, pan gue dah bilang kalau gue sama Ella terima beres aja,” ucap Aulia sambil sedikit tertawa.
“Bodo! Lo bertiga main musik, trus gue nyanyi ga banget deh,” sontak Ella berdiri dari tempatnya dan ikut nimbrung bersama Aulia dan Haikal.
“Tunggu, main musik? Gue? Gue gak bisa!” Aulia dan Haikal melihat Ella berbarengan lalu tersenyum.
“Yaudah lo nyanyi!” ucap Aulia dan Haikal bersamaan.
“Aduh, apalagi itu. Gue gak bisa.”
“Trus lo gunanya apa dong?”
“Gue jadi penonton,” ucap Ella sambil nyengir.
“MATI LO SONO!”
TBC.
290320
Ailavutu.Dua kali up yey #dirumahaja baca wattpad wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Antarkita [Terbit] ✔
Teen Fiction04in-schoolstory-140620 [Hapus sebagian untuk kepentingan penerbitan] Untuk apa adanya perjodohan, pertemuan lalu peninggalan dan perpisahan? Jadikan sebagai pelajaran, perjalanan hidup untuk kedepannya. Masa lalu bukan untuk dikenang apalagi dikeka...