Insting Nimari

847 100 5
                                    

Sejak kepergian Ladepa, Suasanya gubuk kecil Nimari tampak sepi. Hari demi hari ia lalui dengan berburu, duduk di samping makam Ladepa maupun menganyam serat-serat bambu.

Kini tidak lagi gelak tawa seorang panglima yang sudah dia anggap sebagai paman atau bapanya. Biasanya, seusai Nimari pergi berburu, mereka berdua duduk di depan gubuk sambil bercengkrama dan bercerita. Kini Nimari menjalankan hari-harinya sendirian.

Lemari yang biasanya digunakan Nimari untuk menyimpan tanaman kering dan ramuan yang telah diolah kini perlahan mulai kosong. Tidak ada alasan lagi bagi Nimari untuk meramu obat. Sepeninggal Ladepa memang meninggalkan dampak yang besar bagi kehidupan Nimari.

Nimari mengambil busur panahnya dan membawanya di punggungnya, lalu membawa mandau. Dia berencana berburu pagi ini, sebab persediaan makananya telah habis.

Nimari pergi memasuki hutan Kapuas. Dia berjalan dengan bertelanjang kaki. Karena dengan begitu dia bisa merasakan seluruh pergerakan mangsanya.

Derik serangga hutan berbunyi nyaring pagi ini, pertanda matahari telah terbit di ufuk timur. Terlebih dahulu dia duduk dibawah pohon ulin, sambil memakan beberapa buah pisang yang ia bawa.

Dari dalam saku bajunya, ia mengambil sebuah kantong kecil berisi beberapa helai rambut Ladepa. Didekapnya kantong itu ke dalam dadanya. Nimari merindukan Ladepa.

"kita berpencar.. Kita bagi menjadi empat kelompok berisi lima orang. Kita berpisah sesuai arah mata angin."

Suara itu terdengar samar di telinga Nimari. Dia segera menghentikan langkahnya dan berdiri. Rupanya pasukan itu masih jauh dari pandanganya.

Nimari menggulung rambut panjangnya lalu diikat dengan menggunakan akar tanaman yang ia cabut. Di tempelkanya telapak tanganya diatas tanah sambil terdiam.

Kenapa tiba-tiba ada beberapa orang disini? Dan juga, mereka sudah berpencar sesuai arah mata angin gumam Nimari.

Nimari lalu berjalan perlahan melewati semak-semak. Sambil mengamati pria yang terdiri dari lima orang di depanya. Salah seorang memakai ikat kepala dengan bulu-bulu murai yang berdiri. Sangat kentara jika orang tersebut adalah seorang pemimpin dari pasukan.

Satu hal yang menjadi perhatian Nimari adalah rajah di lengan mereka. Bermotif jata yang menjulur sepanjang lengan.

Itu adalah lambang Muntai. Mereka adalah prajurit Muntai ! gumam Nimari sambil merasa geram. Sontak tanganya memegang busurnya erat-erat, hendak melayangkan kepada prajurit itu.

Mula-mula Nimari mengamati situasi di saat mereka mulai menjelajah semak-semak hutan. Nimari mengendap-endap, lalu menarik anak panahnya. Di panahnya prajurit dengan jarak paling jauh terlebih dahulu.

Ttassssss... ttasssss... ttasss... Tiga anak panah menembus tepat di jantung prajurit tersebut. Simpei dan satu prajurit yang tersisa menghampiri prajurit yang tewas.

"Simpei, sepertinya ini ulah pemberontak," kata seorang prajurit.

Simpei tak langsung hendak menjawab, dia mencabut anak panah yang menancap di jantung prajuritnya. Dilihatnya anak panah berbulu elang di ujungnya. Lalu dilihatnya perlahan, terdapat motif tinggang di ujung anak panahnya.

"kau benar, ini pasti ulah seorang Rengkang," kata Sempei sambil menatap prajurit di sebelahnya.

Ttaaassss.. Belum sempat menjawab, prajurit itu jatuh tersungkur dengan panah menancap di jantungnya.

"Siapa Kau!! Keluar!! Hadapi aku, dasar picik!!" Simpei lalu berdiri dan melihat sekeliling. Namun yang ada adalah suara hening.

Simpei lalu bersiul dengan tanganya sebagai tanda bahaya. Tak lepas dia mengawasi sekeliling. Tak buruh waktu lama para lima belas prajurit lain berkumpul menuju Simpei.

"berhati-hatilah.. Mereka lebih berbahaya dari yang aku pikirkan." Kata Simpei yang berdiri di depan pasukan mereka.

"pasukan kita telah gugur empat orang," kata salah seorang prajurit yang mulai berkeringat dingin.

"siapkan busur dan mandau kalian," sahut Simpei. "panah.. Dan layangkan Mandau kemanapun yang kalian curigai."

"baik.." Jawab merekaSerentak.

The Heart Of KapuasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang