Niken
Aku memandang lelaki itu dari balik kaca. Dia turun dari motor, membuka helm dan jaket hitamnya. Jaket yang setahun ini tidak pernah dia ganti. Mungkin dia hanya punya satu, atau kebetulan memakai model yang sama.
Lelaki itu tidak tampan, tetapi wajahnya cukup enak dilihat. Kulitnya hitam karena sering terbakar sinar matahari. Tangannya berotot dengan postur gagah. Dari semua yang aku perhatikan, sikap yang ramah dan sopan adalah daya tariknya.
"Halo, Mbak. Mau kirim paket lagi nih," ucapnya riang.
Dia selalu begitu, tidak pernah kulihat keluhan di wajahnya. Lelaki yang satu ini berbeda. Pembawaannya santai, tenang dan tidak terburu-buru.
"Iya," jawabku singkat.
Aku memang jarang berbicara dengan pelanggan. Maklum, banyak yang suka iseng. Kadang-kadang aku hanya membalas candaan mereka dengan senyum.
Aku mengambil paketnya, meletakkan di atas timbangan. Beratnya dua kilo lebih sedikit. Mataku fokus pada layar, mengetik nama pengirim dan penerima beserta alamatnya.
Nama lelaki itu Abimana. Setahuku artinya anak laki-laki yang berbudi tinggi. Nama yang bagus. Sebagus orangnya yang sopan dan ramah.
Aku membetulkan letak kacamata. Ada banyak pelanggan yang mengirim paket setiap hari. Bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, bahkan para bujangan yang sekedar iseng pura-pura mengirim paket pun ada. Aku tahu mereka hanya ingin bertemu denganku.
"Udah makan, Mbak?"
"Belum," jawabku asal sambil terus fokus mengetik.
"Kok, belum makan? Nanti Mbak sakit loh."
Aku berhenti sejenak. Tumben dia mengajak berbicara. Biasanya dia diam saja, atau bermain ponsel sambil menunggu aku selesai memproses kiriman.
"Oh, gantian. Sebentar lagi giliran saya yang makan siang," jawabku sopan. Berbicara dengan pelanggan harus begitu kan?
"Nanti makan siang sama-sama mau gak? Kebetulan saya juga belum makan," ucapnya santai.
Aku tertegun, lalu melanjutkan pekerjaan.
"Makasih. Tapi kami ada jatah katering. Selesai ini saya makan di belakang."
Aku tersenyum, tidak tahu apakah dia benar-benar tulus mengajakku makan siang atau hanya basa-basi. Itu terserah dia. Aku tidak terlalu peduli.
"Mbak manis deh kalau senyum."
Aku kembali tertegun dan menahan tawa melihat kelakuannya.
"Ini isinya apa, ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Biasa, Mbak. Aksesoris hape."
"Pelanggannya banyak ya? Hampir setiap hari kirim keluar kota."
Memang benar, biasanya dia mengirim untuk dua sampai tiga alamat, bahkan pernah lebih.
"Alhamdulillah, Mbak. Namanya juga rezeki," jawabnya santai.
"Mas-nya usaha sendiri, ya?" tanyaku ingin tahu.
"Usaha kecil-kecilan."
"Kalau masnya ngirim ke sini, apa tokonya tutup?"
"Ada karyawan yang jagain."
"Omsetnya pasti gede. Karyawannya banyak."
"Buat menghidupi anak istri sih cukup."
Jawabannya membuat jantungku berdetak kencang.Ternyata dia sudah berkeluarga.
"Oh, udah nikah. Anak berapa, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
RomansaISI BELUM REVISI Berbagai Cerita Pendek yang terlintas di benak dan aku tuangkan disini. Mencoba menulis sesuatu yang baru setelah bergabung di Grup Kepenulisan Facebook. Terima kasih KBM (Komunitas Bisa Menulis), KPFI (Komunitas Penulis Facebook I...