"Le, Bapakmu sakit."
Aku meletakkan ponsel di meja setelah menutup panggilan. Suara seorang wanita di seberang sana terdengar bergetar saat mengucapkan kata terakhir.
Ini sudah tahun keenam aku memilih untuk tidak pulang ke kampung halaman saat hari raya. Bukan karena tiket mahal atau tak punya biaya untuk membelinya. Namun, karena lelaki itu. Dia yang aku panggil ... Bapak.
Aku teringat beberapa kenangan tentangnya. Ketika aku memilih untuk keluar dari rumah itu untuk selama-lamanya.
"Buat apa kamu merantau. Sawah sama kebun Bapak banyak. Kamu bisa kelola semuanya sesuka hati. Ndak perlu kamu kerja di kota. Kehidupan di sana keras."
Aku menatap wajah tuanya. Berpuluh tahun dia membanting tulang untuk menghidupi kami. Bapak rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran demi anak istri. Bahkan mungkin dia tidak sempat menyenangkan diri demi keluarga.
Baginya akulah satu-satunya harapan karena anak sulung lelaki. Sedangkan adik-adikku perempuan semua. Aku yang diharapkan menjadi penerus usaha yang telah dia rintis sejak lama.
"Lalu buat apa aku kuliah, Pak? Kalau cuma jadi tani."
"Kamu 'kan bisa bantu mengawasi penoreh karet. Kadang mereka suka nakal. Hasil sekian dilaporkan sekian," sungutnya.
"Kan ada Ilham."
Aku menyebut nama iparku, suami dari adik kedua. Aku rasa memang Ilham yang pantas meneruskan usaha ini. Dia telaten dan rajin, juga terampil karena telah bertahun-tahun menekuninya.
"Dia cuma menantu." Kulihat Bapak membuang pandangan.
Aku terhenyak mendengarnya. Selama ini aku melihat Bapak paling cocok bergaul dengan Ilham. Dibandingkan dengan suami adikku yang lain, bahkan dengan diriku sendiri.
"Bapak jangan ngomong begitu."
Aku menyanggahnya. Ilham rela meninggalkan pekerjaannya demi membantu usaha keluarga kami. Sejak dipegang olehnya, panen di sawah Bapak malah semakin berlimpah.
Harusnya Bapak tidak boleh membedakan status anak kandung atau menantu. Toh aku sendiri memilih untuk mandiri dan menolak meneruskan usahanya.
"Kamu yakin dengan pilihanmu?" Ada guratan kecewa di wajah Bapak. Dia pasti terluka atas keputusan yang aku ambil.
"Nggih, Pak!"
Aku ini seorang laki-laki. Jadi, harus bisa menentukan jalan hidup sendiri.
"Kapan kamu berangkat?"
"Lusa."
"Sudah dapat rumah tinggal?"
"Sudah. Kos dekat kantor."
"Kamu kerja apa, toh?"
Matanya menatapku lekat. Tampak ada air mata menggenang yang dia tahan untuk tidak dijatuhkan. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui bahwa sedang bersedih hati, karena itu akan menjatuhkan wibawanya di depanku.
"Arsitek, Pak," jawabku bangga.
"Yang bangun-bangun rumah itu?"
"Iya."
"Itu kayak si Paijo. Tukang bangunan."
Aku mengusap wajah, menyesal mengapa tak pernah bercerita tentang bidang yang aku pilih. Selama ini Bapak hanya membiayai pendidikanku. Dia tak pernah bertanya apa yang sudah aku lewati selama menempuh pendidikan. Aku hanya mengabari Ibu, bahwa semuanya berjalan lancar.
"Iya."
"Uangnya banyak, tapi kerjanya capek. Panas, ujan. Kena paku, kena seng. Bahaya, toh?"
Bapak menggeleng. Mungkin menyesal mengapa harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai pendidikanku. Jika akhirnya nasibku sama seperti Paijo yang cuma lulusan sekolah dasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
RomanceISI BELUM REVISI Berbagai Cerita Pendek yang terlintas di benak dan aku tuangkan disini. Mencoba menulis sesuatu yang baru setelah bergabung di Grup Kepenulisan Facebook. Terima kasih KBM (Komunitas Bisa Menulis), KPFI (Komunitas Penulis Facebook I...