Kisah yang Belum Selesai

461 13 4
                                    

Loppe Coffee hari ini, ramai dan penuh sesak. Sama seperti biasa, beberapa orang hilir mudik mencari tempat duduk yang kosong, memesan secangkir kopi terbaik dan sepotong cheese cake yang menjadi menu andalan di kafe ini.

Aroma kafein menguar di setiap sudut ruangan ini. Sekalipun tak menyukai kopi, aku rela jika setiap hari diminta duduk dan bersantai di sini. Bukan untuk menikmati hidangannya, tetapi hanya untuk bertemu dengan dia.

"Hei, udah lama?"

Aku menoleh dan mendapatkan seraut wajah sendu itu menyapa.

"Tiga puluh menit yang lalu. Dan kamu telat," ucapku santai.

Dia tertawa geli. Lelaki di hadapanku ini selalu on time jika mengucap janji. Namun, hari ini dia mengingkarinya.

"Ada kerjaan," jawabnya santai sambil menarik kursi dan duduk di hadapanku. 

"Klise."

"Aku gak pernah bohong sama kamu, Ra," ucapnya sungguh-sungguh.

"Mau pesan?"

"Aku udah makan di kantor tadi."

Dia mengusap perut yang rata. Padahal aku tahu berapa jumlah kalori yang masuk ke tubuhnya setiap hari.

"Bisa kita mulai sekarang?"

Aku bertanya ketika melihatnya melipat tangan di dada, dengan punggung yang bersandar di kursi. Itu berarti dia sedang tidak ingin berbasa-basi.

Tanpa menunggu dia mengucapkan sesuatu, aku membuka slide yang sudah tersusun rapi dalam sebuah folder. Aku mulai menjelaskan satu per satu isinya dengan lancar. Tak ada satu katapun yang terlewat, mengingat aku sudah hafal semua.

Bertahun-tahun aku disuguhkan materi ini sebagai hidangan pembuka di kala morning session. Juga akan diulang lagi saat presentasi saat rapat kerja yang diadakan setiap tahunnya.

"Udah?"

Aku mengangguk dan menutup layar laptop, kemudian menyerahkan selembar kertas untuk dia tanda-tangani.

"Manual?" Dia bertanya kembali.

"Nanti file lengkap akan di-email secepatnya. Ini cuma untuk formalitas laporan di kantor," jawabku.

"Oke."

Hanya itu yang dia katakan. Setelah itu, dia kembali melipat tangan dan melihatku dengan intens.

Seketika wajahku merona. Aliran darah yang dipompa menuju jantung terasa lebih deras dari biasanya. Mereka tak mau berkompromi kali ini. Padahal aku sudah menahannya untuk tak berdetak lebih cepat sejak tadi.

"Kopi?" Aku menawarkan.

"Kamu gak suka kopi, kan? Kenapa masih minum juga?" Sebelah alisnya terangkat.

"Nyobain aja. Ternyata enak juga."

"Ingat asam lambung kamu."

Aku tersentak. Ucapannya memang benar. Sedikit saja cairan hitam itu lolos ke dalam perut, tubuhku langsung bereaksi.

"Kalau sekali-sekali boleh, kan?" jawabku bandel.

"Jangan memaksa menyukai sesuatu hanya untuk menarik perhatian orang lain, Ra," tegurnya.

"Kalau gitu, kamu aja yang abisin." Aku menyodorkan cangkir itu ke hadapannya.

Dia menariknya dengan senyum dikulum.

"Jadi, aku dapat kiss kamu dari cangkir ini. Sengaja, ya?"

Kami tertawa bersama. Hinga satu jam ke depan banyak cerita yang mengalir. Jika sudah begini, rasanya aku tidak mau pulang ke rumah. Bagiku, menghabiskan waktu bersamanya adalah hal yang paling menyenangkan.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang