La Tahzan

281 13 1
                                    

Suatu hari saat ibu-ibu berkumpul di acara arisan.

"Jeng, liat nih. Saya baru saja dibeliin paksu perhiasan baru. Berlian, loh."

Ibu Nanik memamerkan perhiasan barunya. Kilau batu berlian di cincinnya itu cukup menyilaukan mata.

"Eh, Jeng. Liat juga, nih. Saya juga baru dibelikan perhiasan. Hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ketujuh."

Ibu Santi ikut memamerkan gelangnya. Gemerincing bunyi liontinnya terdengar syahdu di telinga.

"Kalau saya sih gak suka perhiasan. Saya minta liburan aja. Pengen jalan-jalan keluar angkasa," jawab Bu Ani sinis.

Aku terhenyak mendengarnya. Mungkin maksudnya jalan-jalan keluar negeri.

"Bukannya lagi rame virus coronce ya, Jeng?" tanya yang lain kompak.

"Eh, iya batal jadinya. Tiket saya refund. Gak jadi pergi," jawabnya gelagapan.

"Saya dong minta mobil baru. Malas pake yang ini. Udah sering ngadat di jalan," ucap Bu Susi berkata tak mau kalah.

Aku menunduk sembari menarik napas dalam. Beginilah suasananya setiap kali kami berkumpul. Di saat yang lain bercerita banyak hal, aku hanya bisa diam dan mendengarkan.

"Kalau Jeng Asri dibelikan apa sama suaminya?"

Mereka menatapku dengan penuh tanya. Aku tak mampu menjawab karena memang tidak ada pemberian apa pun dari Mas Bowo selama satu tahun terakhir ini.

Suamiku terkena PHK. Bahkan, ada beberapa aset yang harus kami jual untuk bertahan hidup sampai dia diterima bekerja lagi. Mengingat uang pesangon yang ada semakin hari mulai menipis.

Sekalipun begitu, aku masih aktif mengikuti perkumpulan arisan ibu-ibu di sini. Selain untuk menyambung silaturahmi, juga sebagai bentuk tanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban membayar setoran yang sudah terlanjur aku ikuti.

"Engga ada, Jeng. Kan pada tau suami saya pengangguran."

"Emang Mas Bowo belum dapat kerja lagi ya, Jeng?"

"Belum ada. Minta doa ya," jawabku pelan.

Aku pulang dengan wajah kecewa. Bukan karena ucapan mereka yang memamerkan segala macam perhiasan itu. Hatiku perih membayangkan keadaan Mas Bowo yang belum ada perkembangan. Kasihan dia, sebagai seorang laki-laki, harga dirinya adalah bekerja.

Untungnya kami mempunyai usaha kecil-kecilan. Aku membuka toko kue dan katering yang sudah hampir dua tahun ini berjalan. Jadi, masih ada pegangan untuk biaya hidup sehari-hari, walaupun agak berat untuk membayar cicilan.

"Kenapa, Dek?" Mas Bowo bertanya saat melihat wajahku yang murung.

"Gak apa-apa, Mas," elakku.

"Jangan bohong. Mas tau kalau kamu lagi resah."

"Gak," jawabku meyakinkan.

"Sudah bicara saja. Mas dengerin. Gak usah malu."

Aku menatapnya lekat, lalu menggenggam erat tangannya untuk meminta kekuatan.

"Tadi waktu arisan."

"Kenapa?"

"Ibu-ibu lagi cerita segala macam miliknya."

"Terus kamu jadi sedih karena gak punya?"

"Bukan itu, Mas."

"Lalu?"

"Aku sedih waktu mereka tanya kerjaan kamu. Apa Mas gak malu?"

"Mau gimana lagi, Dek. Doakan saja secepatnya. Sementara ini kita fokus kembangakn usaha. Semoga makin rame."

"Aamiin ya Mas," jawabku sembari mengangguk.

"Masih sedih juga?"

"Sedikit."

"Kenapa lagi? Malu ya tadi gak pake perhiasan kayak biasanya?" pancingnya.

Aku tersenyum malu dan mengangguk.

"Nanti kita beli lagi kalau ada rezeki. Maaf mas belum bisa membahagiakan kamu."

"Gak apa-apa. Aku ikhlas. Namanya juga cobaab hidup."

Mas Bowo meraih kepalaku dan menyetuh dahi ini dengan lembut. Lalu rengkuhan hangatnya terasa begitu melegakan hati. Aroma tubuhnya yang harum membuatku merasa tenang dan damai.

"Dek. Tau gak perhiasan dunia yang paling indah itu apa?" bisiknya.

Aku menggeleng.

"Istri salihah yang taat dan patuh kepada suami. Istri yang pandai menjaga diri ketika suaminya gak ada."

Aku tertegun beberapa saat lalu mengangguk. Malu, merasa ditampar oleh ucapan suamiku barusan.

"Bagi Mas, perhiasan yang paling indah itu kamu, Dek. Jadi jangan sedih, ya."

Aku mengulum senyum dan mengangguk lagi.

* * *

Aku baru saja selesai memasak ketika tiba-tiba Mas Bowo menarik tangan ini dan mengajak keluar.

"Dek, ayo kita ke toko perhiasan. Mas mau belikan kamu kalung baru. Pengganti yang dulu pernah kita jual."

Aku tersenyum senang. Kami pergi ke toko emas didekat perumahan. Mas Bowo bercerita bahwa dia baru saja mendapatkan kiriman uang. Temannya yang dulu pernah berhutang kepada kami, sekarang melunaskan semua.

Kami memasuki toko perhiasan itu tanpa melihat keadaan sekitar. Saking senangnya, aku langsung menuju di bagian yang paling disuka. Lalu, memilih menunjuk dan menghitung harga sesuai dengan budget.

Setelah cukup lama melihat, aku memilih sebuah kalung dengan liontin cantik walaupun jumlah gram-nya tidak banyak. Bagiku, cukuplah itu sebagai pengobat hati.

"Ingat, ya. Kamu gak boleh kayak mereka. Itu gak baik. Bisa menimbulkan penyakit hati." Pesan Mas Bowo kepadaku setelah kalung itu dibayar.

Kami hendak pulang saat tak sengaja mata ini menangkap dua sosok ibu-ibu paling ujung di bagian gelang dan cincin. Sepertinya aku kenal.

Aku menghampiri mereka. Benar saja, ternyata itu Ibu Nanik dan Ibu Santi, teman-teman arisanku.

"Jeng," sapaku dengan ramah.

"Eh, Jeng Asri."

Mereka tampak gelagapan saat melihatku.

"Beli perhiasan?" tanyaku.

"Iya," jawab mereka gugup.

"Jeng Asri beli juga? Kalung ,ya? Tadi saya sempat lihat."

Aku terkejut karena tak menyangka Ibu Nanik mengatakan itu. Kalau tadi memang melihat, kenapa mereka tidak menyapaku.

Aku mengangguk tetapi tak menunjukkan apa-apa. Aku masih bercakap-cakap sebentar dengan mereka, saat pemilik toko keluar dan membawa setumpuk uang.

"Ibu, ini cincinnya ditaksir lima jutaan. Ibu jadi jual?" Wajah Ibu Nanik berubah kemudian mengangguk pelan.

"Kalau yang ini gelangnya tujuh jutaan." Kali ini wajah Ibu Santi yang berubah.

Aku terkejut karena tak menyangka. Selama ini aku mengira mereka berlebih dalam segala hal.

"Permisi. Saya duluan." Aku berpamitan kepada mereka saat lenganku ditarik Mas Bowo. Ternyata dia sedikit kesal karena lama menunggu.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang