Senja dan Luka

631 13 2
                                    

"Matahari terbenam. Hari mulai malam. Terdengar burung hantu
Suaranya merdu."

"Ih, kok nyanyi lagu itu sih. Nggak romantis."

Aku melayangkan protes. Kutatap wajah tampannya yang putih bersih. Lalu jantung ini kembali berdetak kencang.

Sudah empat bulan ini kami resmi berpacaran. Dia menyatakan cinta terlebih dahulu. Awalnya aku ragu, tetapi akhirnya menerima karena melihat perjuangannya.

"Kamu maunya lagu apa?"

Lelaki di sebelahku bertanya, sembari menarik kepala ini agar bersandar di bahu kokohnya.

Aku merasakan nyaman yang luar biasa setiap kali kami berdekatan. Rasa rindu yang meluap-luap jika berjauhan. Rasanya aku tak ingin berpisah, ingin selalu dekat dan membagi cinta.

"Yang lain pokoknya. Lagu cinta, " usulku sembari merengkuh pinggangnya dengan erat.

"Apa ya?" Dia menoleh dan menatapku dalam.

Aku merona saat tatapan kami beradu. Senyum melengkung di bibirnya. Hal itu semakin membuatku tak karuan.

"Terserah Kakak. Yang penting jangan lagu itu."

"Bentar."

Dia mengambil sesuatu di saku celana. Lalu, mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dan mengetikkan sesuatu.

"Nih!"

Dia memperlihatkan kepadaku list lagu-lagu romance terbaru. Aku melihatnya memilih beberapa lagu dengan irama pelan.

"Gak suka," jawabku ketika dia memilih sebuah lagu

"Bawel banget," ucapnya sembari mencubit hidungku.

"Yaudah, kamu pilih sendiri," katanya sembari menyodorkan ponsel.

Kuambil benda itu dengan cepat dan menepis jemarinya yang hendak meremas tangan ini.

Jariku meluncur mencari lagu yang aku suka. Lama memilih akhirnya aku menemukan satu yang pas dengan suasana kami malam ini.

"Yang ini aja, Kak. Kayaknya romantis banget." Aku menunjuk.

Dia menjawabnya dengan anggukan. Lalu mengusap kepalaku dengan lembut.

"Kita nyanyi sama-sama," bisiknya mesra.

Ada denyar-denyar syahdu bersemayam di hati. Dia mengambil headset dan memasangkan salah satu di telingaku. Lalu, dia memakai yang lain untuk dirinya sendiri.

Baby, I'm dancing in the dark,
With you between my arms.
Barefoot on the grass,
Listening to our favorite song,
When you said you looked a mess,
I whispered underneath my breath
But you heard it,
Darling, you look perfect tonight.

Kami larut dalam alunan lagu, seakan dunia memang milik berdua. Begitu hanyutnya aku terbuai. Tanpa sadar ketika dia mengangkat tubuh ini dan menggendongku masuk ke tenda. Kami kembali melantunkan nyanyian cinta.

Hari itu, senja di kaki Gunung Bromo menjadi saksi bisu atas sesuatu perbuatan yang kami sebut cinta. Padahal itu zina.

Semoga Tuhan masih membuka lebar pintu ampunan. Kepada kami hamba yang lemah dan lalai. Hamba yang hatinya masih saja diuji dengan indahnya nikmat dunia. Mengaku diri paling suci. Namun, ketika hati ini dibolak-balikkan, dosa masih tetap saja berlumuran.

***

"Kak, aku telat," ucapku sembari menyerahkan sebuah alat tes kehamilan.

Tadi pagi Aku membelinya dan mencoba alat itu di toilet kampus.

"Apa maksudmu, Ayu?"

"Aku hamil."

Aku metunduk lemah dan pasrah. Mual dan muntah yang beberapa hari ini menyerang, ternyata berbuah janin di dalam rahim ini.

"Oh."

Kulihat rona wajahnya berbeda. Biasanya indah dan memesona. Namun, entah mengapa kali ini dia tampak bermuram durja.

"Kakak mau tanggung jawab, kan?" isakku di pelukannya.

Hangat. Sedari dulu inilah tempat yang paling nyaman bagiku untuk bersandar. Aku merasa aman dan tenang ketika dia membalas rengkuhan.

Dia mengangguk, tetapi tak mengatakan apa pun.

"Aku takut, Kak."

Air mata sudah tak dapat kubendung dan mengalir deras membasahi bajunya.

"Gak usah takut. Ada aku di sisimu," bisiknya lirih.

"Semoga kakak tepati janji."

Dia mengangguk sembari mengusap lembut pucuk kepalaku dan mengecupnya pelan. Aku memejamkan mata. Menikmati sentuhan yang dia berikan.

"Tunggu saja. Aku akan datang."

***

"Sudah mau Maghrib, Nduk."

Suara seorang perempuan sepuh mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati dia tersenyum. Tak pernah sekalipun dia marah atas perlakuan yang selama ini aku lakukan, sekalipun itu memalukan.

Dia tidak pernah menyalahkan aku atas apa yang telah terjadi. Wanita tua itu malah menangis menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Gagal menjaga dan mendidik anak gadisnya untuk menjaga kehormatan diri.

"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawabku.

"Kasian anakmu, Ayu. Masih bayi kok dibawa keluar sampai sore. Banyak nyamuk," tegurnya.

Aku melihat ada luka yang dalam dari dalam sorot matanya. Hanya saja dia berusaha terlihat tegar.

"Nggih, Bu. Masih mau ngeliatin senja."

Dia tahu bahwa sejak dulu aku tak pernah melewatkan senja. Dia mengerti, ada harap yang masih aku simpan dalam hati kepada orang yang telah berjanji.

"Yo wes, jangan lama-lama."

Aku melihat tubuh renta itu masuk ke dalam rumah. Kemudian tatapanku beralih kepada sesosok makhluk mungil di dalam gendongan.

Matanya mengerjap. Sedari tadi dia tak mau tidur, karena itulah aku bawa dia keluar. Melihat beberapa anak yang sedang bermain di halaman rumah. Sesekali bayi kecilku tertawa, kemudian tampak menguap karena mengantuk.

"Matahari terbenam,
Hari mulai malam.
Terdengar burung hantu.
Suaranya merdu."

Kunyanyikan lantunan indah itu sebagai pengantarnya tidur. Matanya mulai terpejam. Aku tersenyum bahagia saat melihatnya.

Satu hal dalam hidup yang selalu aku syukuri adalah hadirnya, sekalipun itu mengingatkanku pada luka lama.

Luka yang masih menganga, belum sepenuhnya sembuh dan akan berdarah pada waktunya. Sejenak aku meraba hati.

Aku sadar bahwa ada bagian dalam ruang di hatiku yang bersekat. Sebagian, aku memilihnya untuk menyimpan semua kenangan indah. Sebagian lagi untuk menyimpan semua kenangan pahit. Untukku sendiri, tak akan pernah aku bagi, sesakit apa pun itu. Biarlah menjadi pelajaran hidup, agar tidak terulang.

Wajah mungil ini di hadapanku ini. Kupandangi dia dengan penuh kasih sayang.

"Cah Bagus. Suatu hari kelak, jika kamu sudah dewasa. Ibu akan mengajarimu cara menjadi seorang lelaki sejati. Yang bukan hanya tentang mapan dan rupawan, tapi juga bertanggung jawab."

Aku mengecup keningnya dengan lembut lalu membawanya masuk ke rumah dan menutup pintu.

Besok atau kapan pun itu bila waktunya tiba. Jika dia bertanya kepadaku siapa ayahnya, aku akan menjawab dengan jujur, menceritakan kenangan itu.

Kenangan yang sangat pahit dan menyakitkan. Akan tetapi juga indah. Mengapa? Karena aku pernah menikmatinya.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang