Tak Disangka

179 10 1
                                    

Langkah Naya terhenti saat ada seseorang yang memanggil namanya. Gadis cantik yang berpostur mungil itu menoleh, lalu mendapatkan sosok Rani sedang berjalan mendekatinya.

"Apaan?"

"Si Biru nyariin lo," kata Rani terengah-engah.

Mendengar itu, wajah Naya tiba-tiba saja memucat. Dalam hati bertanya ada apa Biru mencarinya.
Bukankah dia sudah menjelaskan semua secara gamblang dan berharap lelaki itu bisa mengerti.

"Bo'ong," ucapnya.

"Beneran. Sumpah!" ucap Rani sembari mengangkat kedua jarinya.

"Kapan lo ketemu sama dia?" tanya Naya penasaran.

"Tadi waktu di parkiran. Dia ngejar-ngejar gue," jelas Rani.

"Emang dia bilang apaan tadi?" tanya Naya penasaran.

"Katanya, kalau gue ketemu sama lo, bilangin dia titip salam gitu."

Rani menyampaikan pesan dengan begitu serius. Hal itu membuat Naya menjadi gamang, merasa bersalah dan tak enak hati kepada Biru.

"Wa'alaikumsalam. Bilang gitu aja kalau ketemu dia lagi."

Naya mencoba menghindar dan tak mau berbicara panjang lebar. Untuk sementara waktu, dia tidak mau bertemu dengan lelaki bernama Biru. Mendengar namanya saja, gadis itu merasa alergi.

"Lo ada hubungan apa sama dia? Kayaknya serius banget," tanya Rani penasaran.

"Gak ada apa-apa. Lo gak perlu tau."

"Kalian pacaran?"

Rani menatap Naya dengan penuh selidik. Tak biasanya sahabatnya itu menyimpan rahasia. Apalagi mengenai seorang pria.

"Menurut lo?"

"Tauk, dah."

Naya mengabaikan ucapan Rani, lalu menarik lengannya.

"Kita balik sekarang. Udah jam satu ini. Ntar kena semprot Pak Beni kalau sampai telat."

Mereka segera berjalan meninggalkan kantin setelah menyelesaikan pembayaran. Jam istirahat sudah berakhir. Itu berarti semua orang harus segera kembali ke kantor. Finger print sedang menunggu untuk disentuh oleh para karyawan.

* * *

"Nay, Biru nyariin lo."

Beberapa orang di kantin menyapanya saat makan siang.

"Oh, ya?"

Naya bertanya heran. Seharian ini, setiap bertemu dengan beberapa orang yang dia kenal, mereka mengatakan hal yang sama.

"Kalau ada masalah bicarain berdua. Jangan kabur."

"Urusan gue, lah," jawab Naya ketus. Gadis itu merasa tersinggung karena ada yang mencampuri urusannya.

"Kalau pacaran jangan backstreet," canda yang lain.

"Resek lo!"

Wajah Naya memerah menahan emosi. Entah mengapa jika menyangkut tentang Biru, hatinya langsung panas.

Lagipula, Naya sudah meminta Biru untuk tak menemuinya dalam beberapa hari ini. Dia ingin menenangkan diri dan tak mau membahas apapun.

Sayangnya, mereka berada di gedung yang sama walaupun berbeda perusahaan. Biru adalah tim IT dari peruaahaan sebelah. Sementara dia hanya staf administrasi biasa.

"Cieee yang berantem sama pacar," ledek yang lain.

Brak!

Naya menggebrak meja karena emosi. Sikapnya itu membuat beberapa orang menoleh. Bisik-bisik semakin gencar terdengar. Gadis itu segera mengambil makanannya dan meninggalkan cafetaria.

"Tunggu, Nay!"

Rani ikut mengambil makanannya dan meninggalkan cafetaria. Untunglah semua menu yang dijual di situ menggunakan styrofoam. Jadi bisa dibawa jika tidak ingin makan di tempat.

"Lo kenapa sih?"

"Si Biru udah gila, ya. Masa dia nyariin gue ke semua orang."

"Makanya lo temuin dia. Jangan ngindar."

"Kita udah sepakat gak bakal ketemu sampai batas waktu yang ditentukan. Dan dia udah oke."

"Kalian ada masalah apa? Gue sahabat lo. Masa yang kayak gini lo rahasiain?"

Rani merasa heran dengan sikap Naya. Gadis itu menduga bahwa cinta memang bisa merubah karakter sesorang.

Naya sangat terbuka kepadanya bahkan untuk masalah keluarga. Namun, sepertinya untuk urusan cinta, sahabatnya itu memilih untuk menutup diri.

"Sorry, Ran. Untuk yang satu ini gue gak bisa ceritain. Biarlah gue sama Biru aja yang tau."

Naya akhirnya kembali ke ruangan dan memilih makan di mejanya sendiri. Begitu pula dengan Rani.

Hanya mereka yang ada di ruangan itu. Sementara yang lain memilih makan di luar. Keduanya bercerita banyak hal. Namun, Rani menghindari topik mengenai Biru supaya sahabatnya tak merajuk.

***

"Nay. Tunggu!"

Biru menahan lengan gadis itu, saat mereka tak sengaja berpapasan ketika sama-sama berjalan menuju lobi.

"Ada apa lagi?" Naya berusaha melepaskan diri ketika Biru mencekal lengannya.

"Lo jangan ngindarin gue terus. Gue capek."

Biru terengah-engah saat berlari mengejar Naya. Baginya semua harus diselesaikan hari ini juga. Lelaki itu tidak mau harapannya digantung dengan alasan apa pun.

"Gue udah kasih penjelasan. Gue minta pengertian lo. Tolong jangan ganggu dulu sampai keadaannya membaik," pinta Naya dengan nada memelas.

"Tapi, Nay--"

"Gue udah jelasin berkali-kali. Masa lo gak ngerti juga."

"Tolong, Nay. Lo jangan gini sama gue," lirih Biru. Raut wajahnya terlihat kecewa jika sampai Naya menolak.

"Kasih gue waktu."

Naya mencoba merayu. Ternyata tidak gampang meyakinkan Biru agar percaya dengan ucapannya. Dia harus mencari seribu alasan agar lelaki itu mengerti.

"Nay, gue--"

"Apa?"

"Gue butuh uangnya sekarang. Ban motor gue pecah. Tadi gue ke kantor malah nebeng sama Dino. Lo bener-bener ya. Gak ada pengertian sama sekali."

Mata Biru berkaca-kaca. Rasanya dia sudah tidak sanggup jika diperlakukan seperti ini. Semoga saja Naya bisa memahami bahwa dia juga membutuhkan uang itu.

"Oke, gue cicil. Tapi belum bisa bayar semua. Gue belum gajian. Mana bonus udah dua bulan belum dibayar," jelas Naya.

"Yaudah. Mana uangnya?" Tangan Biru terulur menagih.

Naya membuka dompet dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. Lalu dia menyerahkannya dengan berat hati.

Biru segera beranjak pergi. Sekilas tampak senyuma di wajahnya. Lelaki itu merasa lega karena akhirnya Naya bayar juga.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang