Gadis kecil berusia 6 tahun itu berlari ke kamarnya. Masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran dua orang di luar sana.
"Si Mbok ndak adil! Ira disimpankan kuenya, untuk Tari ndak ada."
"Semua juga kebagian, Nduk. Masing-masing satu. Punya Ira si mbok simpan di lemari, nanti dihabiskan yang lain. Dia belum pulang dari tadi."
* * *
Gadis kecil berusia 13 tahun itu berlari ke kamarnya. Masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran dua orang di luar sana.
"Si Mbok ndak adil. Ira dikasih uang jajan tambahan. Tari ndak ada si mbok kasih."
"Ira bantuin Bapakmu jualan cabe sama jeruk nipis hasil kebun ke tukang bakso di pasar. Itu upahnya. Kamu kan disuruh bapak juga ndak mau."
* * *
Gadis remaja berusia 17 tahun itu berlari ke kamarnya. Masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran dua orang di luar sana.
"Si Mbok ndak adil. Ira dibelikan baju baru buat lebaran. Tari ndak ada dibelikan sama sekali."
"Ira beli sendiri. Dia jualan kue, nerima pesanan tetangga buat lebaran nanti. Kamu ndak lihat dia dari pulang sekolah sampai malam didepan oven. Kamu malah pacaran terus."
"Tapi kan Tari juga mau baju baru."
"Tahun ini ndak ada yang dibelikan. Bapak masih ada sisa cicilan sama bank. Bapak mau lunaskan dulu."
* * *
Gadis berusia 23 tahun itu berlari ke kamarnya. Masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran dua orang di luar sana.
"Si Mbok ndak adil. Ira dibelikan motor. Tari ndak ada di belikan sama sekali. Kerja juga diantar jemput bang Soleh."
"Itu Bapakmu yang belikan. Sebagai ganti waktu dua semester terakhir ndak dibiayai sama sekali. Ira nyari uang sendiri. Dia kerja jadi guru bimbel sambil kuliah."
"Tapi Bapak sengaja jual tanah buat belikan Ira motor."
"Kamu juga kan sudah dikasih Bapak uang hasil pembagiannya. Adil, semua juga dapat bagiannya. Lagian tanah bapak itu kecil, hasil jualnya juga sedikit. Kamu sudah dewasa Tari. Cobalah mengerti."
* * *
Wanita berusia 28 tahun itu berlari keluar. Masih teringat pertengkaran dua orang tadi, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan rumah kediaman orang tuanya secara diam-diam.
"Si Mbok ndak adil. Ira dipinjami uang. Tari berapa kali mau minjem ndak dikasih."
"Ira pinjem uang buat berobat suaminya. Rahman mau operasi. Dia juga ganti, menunggu THR cair."
"Aku juga butuh."
"Kamu pinjem uang buat bangun rumah. Itu kan bisa nanti saja. Adik iparmu ini loh kasian."
"Si Mbok pilih kasih." Tari berlalu dengan raut wajah kesal dan kecewa.
"Kamu ini, sudah sering dikasih uang juga masih saja kurang. Lihat Ira, tidak pernah meminta. Malah sering ngirim uang buat bapak."
* * *
Wanita berusia 36 tahun itu mengucap syukur saat matanya menatap Baitullah. Di samping kirinya ada seorang ibu yang sedang bersujud syukur sambil mengucap nama Sang Pencipta berulang-ulang.
Wanita itu, sekalipun tidak mempunyai rumah yang mewah, kendaraan roda empat, liburan keluar negeri atau shopping ala sosialita, dia sudah sangat bersyukur impiannya untuk membawa ibunya ke Baitullah sudah terwujud.
Ira tersenyum saat memandang wajah tua si mbok yang berbinar bahagia.
"Nduk, tolong doakan Bapak supaya mendapatkan tempat yang terbaik disisi-Nya. Sayang, Bapak ndak bisa ikut kita kesini." Air mata berlinangan di wajah tua itu.
"Iya, Mbok." Dua orang wanita menyahut ucapan ibu mereka secara bersamaan. Keduanya saling berpandangan kemudian berpelukan.
"Maafkan kakak ya, Dek." Tari memeluk adik bungsunya. Setitik air matanya jatuh.
"Sama-sama kak. Maafkan Ira juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
RomanceISI BELUM REVISI Berbagai Cerita Pendek yang terlintas di benak dan aku tuangkan disini. Mencoba menulis sesuatu yang baru setelah bergabung di Grup Kepenulisan Facebook. Terima kasih KBM (Komunitas Bisa Menulis), KPFI (Komunitas Penulis Facebook I...