"Apa lagi yang kamu cari, Nduk? Manusia itu memang ndak ada yang sempurna."
Selama ini Ratih memang tidak pernah menanyakan kehidupan pribadi anak-anaknya. Dia memilih diam dan membiarkan Rani melakukan apa yang disukai. Asal putri sulungnya itu tidak melakukan sesuatu yang melanggar norma.
"Belum ada yang cocok di hati Rani, Bu," jawabnya singkat.
"Mau sampai kapan? Ingat usiamu, tahun depan sudah kepala tiga."
"Sabar, Bu. Nanti juga ada masanya. Toh aku juga ndak pernah merepotkan orang lain," ucap gadis itu sembari memasukkan beberapa barang ke dalam tas.
"Kasian adikmu. Dia ndak mau melangkahi. Padahal pacarnya sudah berkali-kali minta," sungut ibunya.
"Kalau Arum mau menikah duluan ya silakan saja. Rani ndak apa-apa kalau dilangkahi," jawabnya pasrah.
"Tapi Ibu ndak mau kamu dikatai-katai perawan tua."
"Bu, jodoh itu ndak bisa dipaksakan," katanya tegas.
Selama ini Rani memilih diam jika ada yang bertanya kapan dia menikah. Namun, lama-lama hatinya bisa kesal juga.
"Ibu makin tua, Nduk. Sudah mulai sakit-sakitan. Siapa nanti yang menjaga kamu kalau Ibu mati?"
Ratih berlalu setelah mengatakan hal yang cukup menyakitkan hati anak perempuannya.
Rani tertunduk lesu. Setitik air matanya menetes. Gadis itu dengan cepat mengusapnya. Dia harus kuat dan tidak boleh cengeng.
"Rani berangkat dulu. Assalamualaikum."
Rani menyusul ke belakang, lalu meraih lengan ibunya. Tangan yang sedari dulu berjuang membesarkan mereka dengan berjualan nasi di pasar semenjak kepergian Bapak.
"Waalaikumsalam. Hati-hati, jangan ngebut."
Rani mengambil sebuah bungkusan yang diserahkan ibunya, bekal untuk makan siang. Hari ini jadwal mengajar sampai sore. Setelah itu dia akan memberikan les privat untuk beberapa siswa di rumah.
Sebenarnya kehidupan Rani boleh dikatakan sempurna. Gadis itu mendapatkan pendidikan yang layak dan lulus dengan predikat cumlaude. Dia juga mempunyai pekerjaan di sekolah dasar swasta tekenal.
Walaupun status Rani masih guru bantu, tetapi gajinya lumayan tinggi. Apalagi ini sekolah anak-anak orang berada. Dia sering mendapat buah tangan jika mereka pulang berlibur.
Rani memarkir motornya dengan hati-hati. Gadis itu hampir saja terjatuh kalau tidak sigap. Motor itu lebih besar dibanding tubuh pemiliknya. Apalagi harus berdempetan dengan kendaraan lain.
Rani bergegas menuju gedung dan ikut antrean bersama yang lain. Tidak boleh ada pengajar yang datang terlambat. Jika sampai itu terjadi, maka guru akan mendapat nilai merah dan sangsi.
"Pagi Bu Rani."
"Pagi."
Mereka saling menyapa. Sekolah ini menerapkan sikap kekeluargaan bagi penghuninya. Ada senioritas pun tidak kentara. Para guru saling menghormati satu dengan yang lain. Jika ada masalah, mereka akan duduk dan menyelesaikannya secara musyawarah.
"Sudah sarapan, Bu Rani?" Pak Rian, salah seorang pengajar menyapanya.
"Sudah, Pak."
"Ayo, kita barengan ke ruangan," ajak lelaki itu.
"Duluan saja, Pak. Saya masih ada keperluan lain," tolaknya halus.
Rani tidak berbohong. Dia memang akan mampir ke koperasi sekolah. Ada cicilan yang harus dibayar. Waktu ibunya sakit dan butuh biaya banyak, koperasi inilah yang menolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
Storie d'amoreISI BELUM REVISI Berbagai Cerita Pendek yang terlintas di benak dan aku tuangkan disini. Mencoba menulis sesuatu yang baru setelah bergabung di Grup Kepenulisan Facebook. Terima kasih KBM (Komunitas Bisa Menulis), KPFI (Komunitas Penulis Facebook I...