Mengenang Kamu

402 19 2
                                    

Aku duduk di antara beberapa pasien yang mengantre. Giliranku masuk masih lama, setelah mereka selesai. Waktunya masih ada tiga puluh lagi. Itu juga kalau tidak ada pasien yang tiba-tiba datang dan mendaftar. Jika iya, berarti waktu tunggu menjadi lebih lama. Bisa jadi satu jam kemudian.

Aku melirik jam tangan, sudah jam sepuluh malam. Aku menguap beberapa kali karena merasa lelah dan butuh istirahat. Namun, aku belum boleh pulang hingga semua selesai. Inilah pilihan hidup yang harus dijalani dengan penuh tanggung-jawab.

Di dalam ranselku ada setumpuk berkas. Kertas-kertas yang berisikan hasil pemeriksaan laboratorium tempatku bekerja. Tugasku adalah mengantarkannya kepada lelaki yang bergelar dokter di prakteknya malam ini.

Dia akan mengecek semua, kemudian menanda-tangani kertas itu. Selanjutnya besok pagi aku serahkan kembali ke kantor.

Sambil menunggu pasien selesai, aku membuka ponsel. Teman sejati di kala sepi melanda. Membaca berbagai macam status dan tulisan yang lucu, membuat aku merasa terhibur. Hingga tak terasa waktu pu berlalu.

"Mbak, masuk aja. Pasien udah selesai," ucap perawat yang berjaga.

Aku membalasnya dengan senyuman, lalu berjalan pelan menuju pintu. Di sini kami tidak berani berulah karena ada CCTV yang mengintai.

Aku harus menjaga image karena membawa nama sebuah laboratorium besar, yang cabangnya tersebar di seluruh provinsi.

"Permisi." Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

"Masuk!" Terdengar suara berat, khas lelaki yang sudah tidak asing lagi.

Begitu pintu terbuka, tampaklah sosok tampan yang membuat jantung ini selalu berdetak. Wajah yang setiap malam mengisi mimpi, yang membuat hari-hariku indah bila bertemu dengannya.

"Hai, Dokter."

Aku menyapa, lalu menarik kursi dan duduk di hadapannya. Aroma harum tubuhnya merasuk panca indra. Dan itu membuatku terlena.

"Hei, Ra," balasnya singkat. Begitulah dia, tak pernah terlalu banyak bicara.

Aku membuka tas dan meletakkan berkasnya di meja.

"Banyak, ya?"

Dia mengambil kertasnya satu per satu lalu memeriksa dengan cermat. Ada puluhan berkas hasil pemeriksaan pasien yang harus dia tanda-tangani.

"Seperti biasa, Dok."

Aku menunggu hingga semua selesai. Diam-diam mencuri pandang dan menatap matanya yang teduh. Kutelusuri satu per satu bagian wajahnya yang sempurna.

Tiba-tiba sekilas kenangan itu muncul.

"Ra, ada dokter spesialis baru di rumah sakit. Ganteng, masih single lagi," ucap salah seorang rekan kerjaku. 

"Oh, ya?" tanyaku cuek.

"Beneran. Nah, tugas kamu nanti ketemu sama dia. Terus nganterin berkas hasil pemeriksaan pasien. Dia udah join per bulan depan. Udah mau jadi konsulen di lab kita."

"Emang dokter yang lama ke mana?"

"Kan, udah pindah tugas ke kota lain. Dokter yang baru ini gantikan beliau."

Aku menanggapinya dengan malas, lalu kembali fokus kepada laptop karena kerjaan yang menumpuk. Sesekali aku mengambil cemilan sembari menunggu makan siang tiba.

"Awas nanti naksir."

Aku menatap rekanku dengan heran. Bagaimana mungkin aku menyukai seseorang yang baru dikenal. Love at the first sight sama sekali bukan tipeku.

"Ya gak bakalan, lah. Aku mau nikahan kok," elakku.

"Ih, takabur. Entar beneran suka."

"Kamu ini, teman mau nikah kok malah dijodohin sama cowok lain," sungutku.

Rekanku tergelak. Katanya aku kurang cocok dengan calon suami. Hal itu dia ramal berdasarkan zodiak kami berdua. Dasar aneh.

"Udah ah. Aku mau jalan dulu."

Dengan percaya diri aku mendatangi dokter itu dengan membawa beberapa berkas. Berawal dari pertemuan pertama yang sangat berkesan itulah kami menjadi dekat.

Kami saling berbagi cerita dan merasa saling membutuhkan. Hari-hari akan terasa hampa jika tidak bertemu. Aku terbawa suasana, begitupun dia.

"Ehem!"

Aku terbangun dari lamunan, saat mendengar suara batuk seseorang.

"Udah selesai, nih."

Lelaki itu menyerahkan berkasnya. Aku segera mengambilnya dan memasukkan kembali ke dalam tas.

"Makasih, Dokter."

"Buru-buru, Ra? Makan dulu, yuk. Saya juga udah selesai pasien," ajaknya.

"Maaf, Dokter. Rara udah ngantuk. Mau cepat pulang," tolakku halus.

"Sekarang kamu menghindar terus ya, Ra?"

"Maksud Dokter?"

Kubalas tatapannya dengan lekat. Lalu kami sama-sama menjadi salah tingkah. Aku membuang pandangan, sementara dia terbatuk beberapa kali.

"Kamu jarang bales chat saya."

"Rara mau nikahan bulan depan. Enggak enak sama Abang."

Aku menunduk, mencoba menahan air mata yang hendak menetes. Kusimpul ujung baju untuk menghilangkan gugup.

"Kamu belum ngerti perasaan saya juga?"

Jantungku berdetak kencang saat mendengarnya mengucapkan itu. Lalu, ada sesak yang perlahan menyusup ke dalam dada. Lebih baik berpura-pura cuek daripada hati semakin sakit.

"Maaf, Dokter. Rara permisi, ya."

Aku berpamitan lalu melangkah keluar ruangan tanpa melihat ke belakang. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dada. Entah dia bagaimana, harusnya aku tidak usah peduli lagi.

Aku telah mengikat janji dengan orang lain. Tak akan aku khianati karena rasa baru yang tiba-tiba muncul dan mengusik hubungan kami.

Kuambil jaket dan memasangnya sebagai penghangat tubuh dari terpaan angin malam. Lalu berjalan menuju motor kesayangan.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, aku melihat ke arah papan yang bertuliskan namanya. Dokter Andreas, Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

Aku melirik ke kaca spion. Seraut wajah cantik tampak tersenyum di sana. Aku mematut diri di kaca itu dan kemudian menyadari sesuatu hal.

Aku dan dia berada pada kisah yang tidak akan pernah berakhir indah. Akulah Humaira, si sudra yang telah jatuh cinta kepada seorang ksatriya.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang