Nisa, istriku masih saja duduk termenung sejak tadi. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku hanya memerhatikan sehak tadi, tanpa bertanya.
Biasanya istriku akan kedatangan tamu bulanan jika bibirnya sudah menekuk seperti itu. Lalu semua yang aku lakukan akan salah di matanya.
"Dek, kok ndak belanja?" tanyaku.
Biasanya setiap hari kamis pagi, Nisa pergi ke pasar setelah mengantar putra sulung kami ke sekolah.
Namun, hari ini berbeda. Dia nampak sendu. Wajahnya muram.
"Kenapa, Dek?"
"Besok masih tetap mau masak?"
"Iya, seperti biasa. Bikin nasi kotak 30 box buat abang antar ke mesjid."
"Tapi ...."
"Ada apa?"
"Beras kita tinggal sedikit. Lauk di kulkas juga habis."
"Loh, abang kan udah nitip uang buat belanjanya hari ini."
Kulihat ada ragu di matanya. Ingin berucap sesuatu, tapi tertahan.
"Ini bang, uangnya adek kirimkan ke kampung." Dia menatapku takut.
"Kok, ndak bilang abang? Buat apa?"
"Berobat bapak."
"Ya sudah kalau begitu. Masak yang ada saja. Yang penting besok tetap ada makanan buat para jama'ah sholat jum'at."
"Cuma ada beras sama telur."
"Bikin nasi kuning sama terlur dadar. Kamu beli bumbu, jangan lupa sambel. Dibungkus kertas nasi, ndak usah pakai kotak."
"Minumannya gimana?"
"Nanti abang minta si Rojak bawa air mineral."
Kulihat senyum mengembang di wajahnya. Kalau sudah begini, rasanya aku memang tidak salah memilih istri.
* * *
Aku membagikan satu persatu nasi dalam bungkusan kepada jama'ah setelah. Banyak sebenarnya, karena yang menyumbang bukan hanya aku. Beberapa warga sekitaran masjid juga.
Kami sepakat mengadakan kegiatan ini untuk menghidupkan kembali semangat para pemuda untuk sholat berjamaah.
Sudah satu bulan kegiatan ini berjalan lancar. Jama'ah meningkat dua kali lipat dari biasanya. Kami para pengurus mesjid merasa sangat senang. Setidaknya, mereka yang biasanya keluyuran entah kemana, kini berkumpul di mesjid kami.
"Permisi, Pak. Silahkan diambil nasinya." Aku menyerahkan sebungkus nasi dan air mineral kepada seorang bapak yang duduk di ujung.
"Oh, ada nasi ya."
"Iya pak. Setiap Jum'at di masjid kami menyediakan makanan."
"Wah, bagus ini. Biasanya waktu bulan puasa saja."
Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. Sambil makan, kami bercerita.
"Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memakmurkan mesjid, Pak."
"Betul, Dek. Niat kalian ini bagus sekali."
"Adek kerja di mana?"
"Saya jaga malam pak. Deket sini, ada kantor finance."
"Namanya siapa? Boleh saya minta nomor teleponnya?"
Aku menyebutkan beberapa angka dan dia menyimpannya. Dia berlalu setelah kami bersalaman.
* * *
"Dek, kok ndak belanja?"
"Uang gaji abang kan habis. Sudah dipakai buat belanja nasi bungkus minggu lalu."
"Jadi, besok kita ndak nyumbang nasi buat mesjid?"
"Ndak ada abang. Ada juga tinggal sedikit buat belanja sampai abang gajian lagi. Kalau dipakai buat mesjid, nanti ndak cukup buat hari-hari."
Aku menarik napas dalam.
"Ya sudah. Nanti abang bilang sama yang lain, kita libur dulu minggu ini."
Aku mengambil sepatu, siap untuk berangkat kerja. Setiap kamis aku kebagian shift pagi. Kalau jum'at, aku minta malam. Biar paginya bisa mengurus mesjid.
Drtttt.... Drtttt.... Drtttt....
"Halo?"
"Ini benar dengan adek Rahmat?"
"Iya."
"Saya Pak Abdul, yang ketemu di mesjid minggu lalu."
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Saya mau pesan Nasi 100 kotak ya. Buat disumbangkan ke mesjid-nya."
"Bi-sa, Pak." Aku terbata.
"Saya mau yang seperti minggu lalu. Masakannya enak."
Alhamdulillah. Aku mengucap syukur.
"Oh iya. Bisa minta nomor rekening? Saya mau transfer sekarang. Tolong di total semuanya berapa. Saya tunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
RomanceISI BELUM REVISI Berbagai Cerita Pendek yang terlintas di benak dan aku tuangkan disini. Mencoba menulis sesuatu yang baru setelah bergabung di Grup Kepenulisan Facebook. Terima kasih KBM (Komunitas Bisa Menulis), KPFI (Komunitas Penulis Facebook I...