Kisah Penulis Online

241 14 4
                                    

Aku melihat kembali kata-kata yang tadi diketik, merasa ragu apakah ini sudah benar atau belum. Aku membacanya lagi dari awal, lalu menghapus sebagian kata dan mengubahnya dengan yang lebih pantas.

"Begini kayaknya udah cocok."

Aku bergumam dalam hati, lalu menambahkan kata-kata di akhir paragraf.

"Mohon saran dan masukannya. Saya member baru. Makasih."

Ketika hendak menekan tombol "post", jantungku berdetak lebih kencang. Kulafalkan doa dalam hati, berharap semoga banyak pembaca yang suka.

Setelah mengunggahnya, aku merasa lega. Biar saja dulu dan jangan dilihat.

Tak terasa satu jam berlalu. Tangan ini gatal ingin membuka akun menulis. Apalagi sedari tadi ponsel berbunyi terus, menandakan banyak notifikasi yang masuk.

"Buka aja, lah. Mau gimana tanggapan member grup, harusnya aku terima dengan lapang hati. Kan, katanya mau belajar."

Jariku meluncur bebas, membuka si aplikasi biru.

Abu Fazrullah menyetujui postingan anda di Komunitas Bisa Mengetik.

"Yeay!"

Aku bersorak gembira. Akhirnya tulisanku di-approve moderator paling tampan di grup itu. Selama satu bulan menjadi silent readers, aku mempelajari semua aturan kepenulisan di sana. Termasuk berita tentang ketampanannya.

Sekarang tinggal menunggu komentar atau like dari member yang lain.

"Semoga pembaca suka. Semoga mereka suka."

Aku kembali berdoa. Tak lama notifikasi berbunyi lagi. Ada lima puluh like dari member grup, juga beberapa komentar.

"Tulisannya bagus, Kak."

"Aku suka, Kak."

"Ih, ceritanya bikin baper."

"Romantis, ya."

Aku tersenyum lega, merasa berbunga-bunga dalam hati. Pujian dan sanjungan dari mereka membuat aku semangat menulis. Di kepalaku, sudah tercipta beberapa ide yang akan dibuat untuk menjadi cerpen berikutnya.

Tiba-tiba notifikasi berbunyi kembali. Aku segera membukanya. Ada komentar dari akun yang bernama Rifky.

"Gak usah kasih tanda itu.
Untuk percakapan lewat media bisa pake kurung siku."

Aku membaca kembali masukan yang dia sebutkan tadi, lalu membalas, "Contohnya, Kak?"

"Yang jelas, kata yang kamu kasih tanda garis itu, disambung saja. Gitu aja gak ngerti."

Ih, kok galak sih. Aku membatin, tetapi kemudian membalas lagi.

"Oh gitu ya, kak. Oke, nanti diperbaiki ya."

Tidak ada balasan lagi. Aku bergegas memperbaiki apa-apa yang kurang dari penulisan tadi. Begitu seterusnya. Setiap aku membuat suatu tulisan, Rifky selalu saja berkomentar tentang banyak hal.

"Cerita kamu kurang greget."

"Kurang cantik narasinya."

"Feel-nya kurang kena."

"Banyak typo. Perbaiki, deh."

Beberapa komentarnya membuat aku sakit hati, hingga semangat menulis menjadi hilang.

"Udah berkali-kali masih salah. Tolong liat tanda koma sama titik. Gitu aja gak ngerti."

"Haduh ini anak lemot. Alurnya sih bagus, tapi PUEBI kacau."

"Tolong sering baca KBBI ya. Lihat mana kata yang baku atau yang bukan."

Hingga suatu saat ....

"Kak, kenapa sih julid sama aku terus?"

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang