"Permisi, Om Ganteng. Kita mau lewat."
Aku menarik napas panjang saat kata-kata itu keluar dari mulut mereka. Entah ini sudah yang ke berapa kali semenjak aku duduk di sini. Di kantin yang penuh dengan siswa-siswi yang sedang asyik menikmati hidangan di meja masing-masing.
Jarum jam di tangan menunjukkan angka dua lewat dua puluh tujuh menit. Itu berarti, tersisa tiga puluh tiga menit lagi sebelum aku harus benar-benar meninggalkan tempat ini.
Bunyi ponsel mengalihkan lamunanku. Ternyata ada sebuah pesan yang masuk.
"Tunggu bentar ya, Lang. Aku masih ada rapat."
"Oke."
Hanya itu kata yang aku ketikkan sebagai balasan. Sembari menunggu, aku mengecek email yang masuk melalui ponsel. Juga membalas pesan yang sudah beberapa hari ini diabaikan.
Aku terkejut saat tiba-tiba saja ada seorang yang duduk di samping. Aku menoleh dan mendapati seraut wajah lucu sedang menatap dengan penuh selidik.
"Om nungguin siapa?" Dia bertanya.
"Teman," jawabku singkat.
"Teman apa pacar?"
Matanya mengerling. Untung manis, kalau tidak sudah aku tinggalkan tempat ini sekarang juga.
Aku sedang dalam kondisi yang malas untuk beramah-tamah dengan orang lain. Apalagi dengan seorang bocah yang memakai seragam putih abu-abu di sebelahku ini.
"Om kerja di mana, sih?"
"Kantor."
"Kantor mana?" Dia melirikku dari atas hingga ke bawah.
"Pengacara."
Dia menutup mulut, lalu menganggukkan kepala dan tersenyum geli.
"Om itu kerjanya ngebelain penjahat biar masa tahanannya ringan. Iya, kan?"
Eh, sok tahu anak ini. Aku memilih diam dan tak mau menanggapi sama sekali. Sepuluh menit menunggu bagiku cukup membosankan.
"Om." Dia menarik bajuku.
Seketika aku langsung menepiskan tangannya.
"Nungguin siapa?" Ternyata dia masih penasaran kenapa aku masih berada di sini sejak tadi.
"Anindya."
Aku menyerah. Menyebutkan nama seorang wanita yang sudah satu bulan ini mengisi hari-hariku. Bukan karena keinginan sendiri, tetapi karena perjodohan orang tua.
"Bu Anin masih rapat sama guru-guru yang lain. Tapi kayaknya bentar lagi kelar, deh," jawabnya meyakinkan.
Aku meliriknya sebentar, lalu kembali fokus menatap layar ponsel.
"Om." Dia mengibaskan tangannya di wajahku.
"Kamu!" Aku menangkap tangan kecilnya.
"Om kok galak?"
"Saya ini pengacara. Tindakan kamu ini gak sopan. Saya bisa menuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan."
Aku mengancamnya karena telah berbuat lancang, apalagi kepada orang yang lebih tua. Anak zaman sekarang memang kurang pandai bertata krama.
"Maaf," ucapnya terbata-bata.
Aku melepaskan cekalan lalu meliriknya. Sekilas dia tampak kesakitan sembari memegang lengan yang memerah.
"Bye, Om. Aku mau masuk kelas."
Dia berjalan begitu saja meninggalkanku yang masih speechless dengan tingkahnya tadi. Tak lama terdengar seseorang memanggil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
RomanceISI BELUM REVISI Berbagai Cerita Pendek yang terlintas di benak dan aku tuangkan disini. Mencoba menulis sesuatu yang baru setelah bergabung di Grup Kepenulisan Facebook. Terima kasih KBM (Komunitas Bisa Menulis), KPFI (Komunitas Penulis Facebook I...