Semua Tentang Kita

328 11 1
                                    

Jarum jam di tangan menunjukkan angka lima lewat tujuh belas menit. Setelah mampir ke kantin dan mengisi perut yang kelaparan, aku segera bergegas pulang.

Biasanya Ibu akan bertanya jika aku pulang telat tanpa mengabari. Lagi pula, hari ini tidak ada janji dengan siapa pun.

Aku sedang berjalan menuju parkiran dan bersiap hendak pulang saat mendengar suara seseorang memanggil.

"Besok, aku jemput, ya?"

Sebuah sepeda motor berhenti di sampingku. Tanpa membuka helm, aku sudah tahu siapa wajah di balik masker hitam itu.

Aku sudah hafal suara dan juga aroma tubuhnya. Itu karena aku telah banyak menghabiskan waktu bersamanya.

"Nggak usah. Nanti ngerepotin kamu," tolakku halus.

Mata kuliah hari ini sudah selesai. Jadi aku rasa tak perlu berlama-lama di kampus karena hari sudah mulai gelap.

"Kok, gitu?" Ada rona kecewa dari wajahnya.

"Sorry, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," kataku tegas.

"Tapi--"

"Bye!"

Dia melaju meninggalkanku, menyisakan suara raungan mesin motor yang memekakkan telinga.

"Dasar gila."

Aku mengumpat dalam hati, sudah tak perduli dengan apa yang dia lakukan saat ini. Sudah berkali-kali aku mengingatkan, tetapi tidak pernah diindahkan.

Aku segera memasang jaket dan mengambil helm saat terdengar suara benda bertabrakan di jalan depan kampus. Jantungku berdetak kencang dengan pikiran yang mulai menerka.

Aku berlari sekuat tenaga menuju ke tempat dari mana suara itu berasal. Air mataku tumpah saat melihat sesosok manusia yang tergeletak tak berdaya dengan simbahan darah di sekujur tubuhnya.

"Tolong!"

Aku berteriak meminta bantuan kepada siapa pun yang berada di situ. Namun, tidak ada yang bergerak menolong. Mereka hanya sibuk menonton, bahkan ada merekam videonya.

"Wahai hati nurani. Di manakah kamu berada?" lirihku di antara tetes air mata yang mulai jatuh ke pipi.

"Za, bertahanlah," bisikku di telinganya yang sedari tadi mengucurkan darah.

"Minggir! Minggir!"

Aku menoleh. Tiba-tiba saja ada seorang bapak tua dengan mobil pick-up datang menghampiri. Dengan cepat dia memeriksa lalu memastikan bahwa segala sesuatunya.

"Bawa naik. Bawa naik. Bisa mati ini anak!" teriaknya.

Beberapa orang membantu mengangkat tubuh itu ke atas mobil. Sementara aku hanya terdiam mematung. Masih syok melihat darah yang berlumuran di jalan raya, juga sebagian yang membasahi baju.

"Kamu keluarganya?" Bapak itu bertanya.

Dalam kegamangan aku menganggukkan kepala.

"Ayo ikut saya, Dek."

Bapak itu menarik lenganku. Lalu mobilnya melaju menuju rumah sakit terdekat.

Di sepanjang perjalanan aku melantunkan doa-doa dalam hati. Berharap ada keajaiban. Semoga dia baik-baik saja sekalipun kemungkinan itu kecil mengingat luka di sekujur tubuhnya.

Sesaat aku teringat akan hari itu. Dimana hubungan kami yang awalnya bahagia berakhir kecewa.

Aku mengetuk pintu kamar sebuah rumah kos putra. Di tanganku ada sebuah bungkusan berisi makanan acara di rumah tadi. Ibu sangat menyukai kekasihku ini, sehingga bagian untuknya disiapkan sendiri. Biasanya dia akan senang sekali jika aku datang berkunjung.

"Kok nggak bilang mau ke sini?" Dia membukakan pintu.

Aroma rokok langsung menguar di hidungku. Aku membuka jendela kamar yang pengap. Sepertinya sudah beberapa hari tertutup rapat.

Aku meletakkan bungkusan yang tadi di bawa di atas meja. Sekedar berbasa-basi sebentar sebelum berpamitan pulang.

"Ayo makan dulu. Nanti dingin," ucapku.

"Ambilkan sendok sama piring di situ," Dia menunjuk sebuah meja kecil di sudut.

Dengan cepat aku beranjak dan mencari. Mataku terbelalak saat menemukan sebuah bungkusan kecil berisi bubuk putih di atas tumpukan buku.

"Ini apa, Za?" Aku menunjukkan benda itu.

"Itu ... itu ..." Suaranya terbata. Dia menggaruk kepala, terlihat bingung hendak menjawab apa.

"Kamu make' lagi?"

"Sorry, Na. Aku ..."

"Udah berapa lama?" tanyaku.

"Setahun ini." Dia tertunduk lemas, pasrah. Seperti seorang pencuri yang tertangkap tangan sedang mengutil barang.

Aku melemparkan kertas itu ke wajahnya.

"Na! Na! Tunggu! Jangan pergi, aku bisa jelaskan."

Aku sudah tak perduli dengan semua kata yang dia ucapkan, dan berlalu begitu saja tanpa mendengarkan penjelasannya. Melupakan apa yang hendak kucari tadi. Pikiranku kacau, kecewa sekaligus marah.

Lama kami tak berkomunikasi setelah itu. Hingga suatu hari ada sebuah pesan masuk.

"Kita putus!"

Hanya itu yang aku katakan saat membalas pesannya. Setelah mengabaikan berapa ratus panggilan tak terjawab. Aku muak melihatnya, juga tingkah lakunya.

"Na. Jangan tinggalkan aku," pintanya saat kami bertemu lagi di kampus.

"Kamu dulu pernah janji. Nggak bakal nyentuh barang haram itu lagi, kan?" tanyaku, dengan rasa sesak yang menghantam hati.

"Tapi, aku belum bisa. Aku ..."

"Kamu bohong, Za! Tega kamu." Perlahan tapi pasti ada luka yang tertoreh. Perih, tapi tak berdarah.

"Aku sayang kamu. Please!" pintanya.

"Kalau kamu sayang, sekarang juga berhenti. Barang ini bikin kamu jadi sakit. Kamu sadar, nggak?"

Dia mengangguk. Aku pikir benar menuruti, ternyata tidak. Dia mengulangi lagi, entah untuk yang ke berapa kali. Aku memilih mundur karena lelah mendampingi. Bagaimana bisa menjadi dia menjadi pemimpin keluarga yang baik, jika racun terus saja menggerogoti fisik, juga psikisnya.

Broken home.

Tak lantas membuat kita harus jatuh ke lembah kenistaan. Dia berbeda, tak pernah bisa memahami. Padahal aku sendiri berjuang mati-matian menolak semua pengaruh benda itu. Aku sama seperti dia, anak korban perceraian orang tua.

***

Sebulir air mataku jatuh. Ada rasa sesal menyusup dalam hati setiap kali terkenang saat itu. Harusnya, aku membantunya untuk sembuh, bukan malah meninggalkan. Dia tak punya siapapun yang menguatkan. Sedangkan aku masih mempunyai seorang ibu yang mengasihi.

Air mataku semakin deras menetes di batu nisan yang bertuliskan namanya. Ini tahun ke tiga aku datang mengunjungi.

Reza.

Aku hanya bisa mendoakan, karena meminta maaf sepertinya sudah tak sempat.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang