Sepasang Mata Indah

305 13 5
                                    

Aku menatap dua pasang mata milik dua lelaki yang sedang duduk di depan. Posisiku saat ini sedang berdiri sembari memegang pointer untuk melakukan presentasi.

Sepasang mata pertama adalah milik lelaki separuh baya berusia lima puluh tahunan. Dia berambut putih, dengan tubuh gempal dan berkulit hitam. Andreas namanya, area manager kami.

Di sebelah kirinya ada lelaki berusia dua puluh lima tahun. Tangannya terlipat di dada dengan tatapan yang tajam. Dia adalah Revan, supervisor kami.

Sekalipun Revan adalah atasanku langsung, tetapi aku tak suka kepadanya. Di kantor, lelaki itu hanya bisa memerintah, tanpa mau turun tangan membantu timnya menyelesaikan masalah.

Sekilas aku teringat pada hari itu, saat pertama kali Revan memberikan ceramah pada morning session. Materi yang dia bahas adalah tiga pilar utama penunjang kinerja unggul.

"Integrity adalah kejujuran. Sikap kita sebagai karyawan yang baik adalah jujur. Contohnya apa? Tidak boleh mark-up uang jalan. Sedikit atau banyak yang kita ambil, dosanya tetap sama."

Mata tajamnya menatap kami secara bergantian. Aku memilih untuk fokus mendengarkan sembari berpura-pura mencatat apa yang sekiranya penting. Padahal dalam hati dongkol setengah mati.

"Passion adalah minat dan semangat dalam bekerja. Tapi bisa juga  kerjasama dengan baik dalam tim. Contohnya bisa menerima kekurangan dan kelebihan rekan kerja."

Revan kembali menjelaskan dengan penuh percaya diri. Dalam hatiku mengumpat. Lelaki itu memang pintar berteori. Padahal praktiknya nol besar.

"Passion juga bisa berarti konsisten dalam melakukan pekerjaan. Jangan sebentar rajin sebentar malas. Kalau bosan bisa break dulu. Tapi ingat, target tetap berjalan setiap bulan."

Aku mendengkus. Rasanya sudah jenuh mendengar ini. Untungnya ada segelas kopi di meja. Sehingga bisa mengusir kantuk yang bergelayut manja di mata.

"Yang paling penting adalah sikap profesional. Kita harus bisa membedakan mana masalah di rumah dan kantor. Jadi, jangan dicampur-baurkan."

Kulihat Revan meletakkan pointer dan kembali menatap kami.

"Sampai di sini semua paham?"

"Paham, Pak," jawab kami serentak.

"Yang terakhir adalah skill. Ada yang bisa bantu saya menjelaskannya?"

Aku membuang pandangan dan menatap ke arah jendela. Pikiranku berkelana entah ke mana. Lalu bermuara kepada sosok kecil yang sedang menunggu di rumah.

"Rini, kamu bisa bantu jelaskan?"

Tiba-tiba saja Revan berkata sesuatu yang membuatku terkejut karena melamun sejak tadi.

"Iya, Pak," jawabku gugup.

"Silakan."

"Skill adalah kemampuan kita dalam menghandle suatu perkerjaan. Contohnya cara berkomunikasi dan bernegosiasi. Bisa juga kemampuan menguasai produk yang dipasarkan."

Aku menjawab seperti itu, berdasarkan apa yang selama ini kami pelajari.

"Benar. Untuk yang terakhir, kamu harus memperbaikinya. Hasil post test bulan lalu nilai kamu terendah. Akhir bulan ini saya akan mengadakan tes ulang."

Ada senyum di sudut bibirnya. Senyum penuh ejekan yang membuat perutku menjadi mual. Revan begitu sombong setelah menjabat sebagai atasan kami.

Aku mengangguk dan malas menanggapi. Dia adalah bosnya. Aku harusnya mengingat dua pasal keramat. Pertama, bos tidak pernah salah. Kedua, jika dia salah maka kembali ke pasal satu.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang