PROLOG

33.5K 1.3K 29
                                    

Mata biru gelap, segelap lautan dalam milik seorang Virgo Rolinkus Lugo, memicing mengunci sasarannya dengan tepat. Tangan kekar berotot menarik tali busur, lantas menjangkarkan tali penarik bersiap membidik dengan penuh taktik. Dengan hembusan napas kasar, ditambah alis cukup tebal yang menukik, lelaki itu melepaskan anak panahnya. Bagaikan panah Arjuna yang tidak pernah melesat, seperti itulah anak panah Virgo. Melesat matang dan menancap tepat di bola mata mangsanya.

Beberapa meter dari jaraknya berdiri, seorang lelaki tersaji. Berdiri dengan keadaan tubuh terikat di sebuah pohon, yang naasnya sudah tak bernyawa lagi. Terhitung, sudah 10 anak panah yang menempel dan menembus tubuh lelaki malang itu.

Saat Virgo ingin kembali memanah, tiba-tiba saja suara derap langkah kaki seseorang yang sepertinya tengah mengintainya terdengar. Virgo berancang-ancang, ia mengeraskan rahang, sedetik kemudian tanpa beraba-aba laki-laki itu berbalik badan dengan posisi tangan yang sudah menarik tali busur, bersiap melesatkan anak panahnya.

"AMPUN! JANGAN DIPANAH!" Seorang lelaki berambut pirang, mengangkat kedua tangannya, sebari memejamkan mata ketakutan. Kontan, membuat Virgo mengurungkan niatnya.

"Sedang apa anda disini?" Suara serak-serak basah yang tercipta dari pita suara Virgo, membuat lelaki yang tengah memejamkan matanya, perlahan mengerjap seraya menurunkan kedua tangannya.

Petir Lian Baskara---merosotkan kedua bahunya sambil mendesah kecewa. "Gue mau numpang ngadem di rumah lo," katanya enteng.

"Sudah saya duga." Merasa tak minat dengan temannya itu, Virgo kembali mengarahkan anak panahnya pada sang korban.

"Udah napa, Vir! Udah mati juga, jangan terus dipanah," ucap Petir menegur. Melihat korban yang telah Virgo lenyapkan, membuat Petir bergidik jijik. Rasanya, tubuh Petir lemas melihat darah. Ia memilih duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari badan Virgo yang berdiri tegap itu.

Bagaimana tidak? Seorang pria berdiri dengan badan terikat tali tambang di sebuah pohon dengan keadaan bersimbah darah. Yang paling membuat Petir bergidik jijik adalah, perut sang korban yang tersayat dan terbuka. Bagaikan mulut, perut sang korban ternganga begitu mengenaskan dan menjijikkan. Isi perutnya keluar dengan diiringi darah pekatnya. Isian perutnya itu keluar dan jatuh ke tanah.

Srett!

Anak panah Virgo kembali melesat, mengenai bola mata sebelah korban. Darah mengalir tenang seperti aliran air danau, sudah bisa dipastikan bola mata itu akan pecah dan tak akan berbentuk lagi.

"Itu perutnya lo apain dah? Kenapa bisa keluar tuh usus orang?" tanya Petir sambil menggeleng tak percaya pada Virgo.

"Saya hanya bermain sebentar dengan korban saya. Menyayatnya dengan pisau tajam, menusuknya berkali-kali hingga perutnya terbuka. Lalu, saya keluarkan isi perutnya menggunakan sendok." Virgo bercerita sebari menyimpan panahnya dan duduk di sebelah Petir.

Mendengar cerita Virgo, rasanya bibir Petir ditinggalkan oleh darahnya. Laki-laki berambut pirang itu kehabisan kata-kata. Wajahnya berubah pucat sesaat Virgo menatapnya dengan seringai senyuman miringnya. Senyuman yang tercetak begitu menyeramkan di mata Petir.

"Anda mau jadi korban selanjutnya?" tawar Virgo.

Rasanya, aliran darah dari kepala Petir jatuh dengan deras ke perutnya, bulu kuduknya berdiri.

"Ja-jangan dong, Vir!" ucap Petir gelagapan, sedetik setelahnya tawa sinis Virgo pecah namun tak berlangsung lama.

"Anda payah!" sebut Virgo langsung.

Petir merengut, jantungnya masih bertalu ditambah badannya sekarang mulai panas dingin. Walaupun Petir sudah tahu bahwa Virgo adalah seorang psikopat, tetap saja ia takut. Padahal, pertemanannya sudah terjalin sejak 1 SMA.

VIRGO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang