Fifteen

763 78 42
                                    

Pepohonan rindang yang di selimuti embun pagi itu bagai di balut ketenangan. Tapi ketenangan itu hanya sementara, toh pada dasarnya setiap ketenangan belum tentu merasa aman. Ketenangan yang menyelimuti atmosfer terkikis sedikit demi sedikit oleh sinar matahari yang mulai melakukan rutinitas.

Di dalam sebuah ruangan besar yang terdapat berbagai macam peralatan medis lengkap dengan bau khas obat obatan menyeruak terdapat seseorang terbaring lemah diatas bangsal dan seseorang lagi yang tengah berdiri diam mematung memandangi orang yang terbaring.

tit tit tit

Suara monitor yang beriringan dengan jatuhnya tetes demi tetes air infus dan suara nafas dari Ventilator membuat irama senada memilukan.

Melody mematap diam pada orang yang berbaring. Sudah sebulan terakhir orang itu tidak menunjukkan akan kesadarannya, selama sebulan itu baru kali ini Melody menjenguk.

Tak tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini, untuk bersedih hatinya begitu sakit sampai tak mampu bersedih, untuk menangis rasanya percuma, karena air matanya pun sudah habis , itu terlihat jelas di kedua mata Melody yang begitu sembab. Untuk menyalahkan diri juga percuma, semua sudah terjadi dan tak akan kembali lagi.

Bohong sebenarnya Melody mengatakan air matanya sudah habis, buktinya saat ini di pelupuk mata indah itu terlihat genangan air, juga mata dan hidung nya memerah. Memang pada dasarnya kesedihan itu susah butuh waktu yang tak sebentar untuk pulih.

Melody menggerakan bola mata keatas supaya cairan bening itu tak jatuh.

"gw ga bakalan nyalahin lo asal lo cepat bangun, dek"

Dengan air mata yang memaksa keluar dari bendungannya Melody berjalan meninggalkan seseorang yang tengah berbaring diatas bangsal dengan muka dan yang sebagian tertutupi perban.

---

Malam ini begitu dingin merasuki tulang, bahkan udara dingin di rasa hangat beberapa bulan lalu kini hilang entah kemana bergantikan rasa dingin yang begitu menusuk.

Di balkon kamar luas itu, Veranda berdiri dengan pandangan sendu menghiasi wajah ayu nya. Tak ada guratan kebahagiaan disana, hanya kesedihan kesedihan dan kesedihan. Seolah kebahagiaan yang baru dia dapatkan kembali setelah sekian lama diambil oleh tangan besar, membawa nya pergi menghilang dari hadapan Veranda dan tak kembali lagi.

Syal coklat yang selalu menemaninya tak mampu mengobati rasa berkecamuk di dada menginginkan seseorang untuk ada di sisinya.

Veranda mengeratkan lagi syal yang melingkar di leher, sebelah tangannya mengangkat sebuah foto usang yang mana tergambar foto dirinya dan juga Kinal disana, foto dua gadis kecil dengan senyuman yang begitu manis.

Tak hanya wajah sendu menguasai mimik wajah Veranda, mata dan hidung yang memerah pun mulai terlihat.

Jari jempol itu mengusap lembut pada foto. Suara keheningan malam kini terisi oleh isakan tangis Veranda yang tertahan dan memilukan. Mata yang sembab kembali mengeluarkan airnya, suara sesegukan yang menyayat pun ikut bagian.

Veranda menangis, untuk kali ke berapanya Veranda kembali menangis.

---

Okta duduk diatas sofa ruang keluarga dengan wajah penuh air mata, sebelah tangan nya juga melakukan hal yang sama seperti Veranda tadi malam. Dengan sebuah bingkai foto usang tergambar wajah dua bayi kembar di dalam nya. Ibu berusia empat puluh tahun keatas itu menatap sedih pada foto itu.

Mario yang berada di belakang Okta pun tak bisa berbuat apa apa, dia mendekat, duduk di samping Okta dan memeluk istri nya erat seoalah menyalurkan sebuah kekuatan dari pelukan. Tak bisa di pungkiri, melihat kenyataan yang begitu kejam membuat Mario juga merasa amat bersedih. Dia mengusap punggung Okta memberi ketenangan. Tapi bukannya tenang, kesedihan yang memang dia tahan pun akhirnya pecah mendengar isakan tangis memilukan dari Okta.

D E S T I N YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang