Tali

5.2K 464 21
                                    

Cerita ini hanya fiktif
Untuk Karakter masih milik Masashi Kishimoto ya,,,
Selamat membaca ❤
.
.
.

Hujan masih tak mau terhenti. Gemericik air membasahi seluruh kota tempat kelahiran anak bermata biru. Sudah hampir satu jam, hujan tak berniat mereda agar sang mama segera menyusulnya ke sekolah. Ahhh, andai saja Boruto menuruti omongan sang ibu untuk berjaga-jaga membawa mantel, maka ia bisa berlari menembus hujan.

Matanya menoleh kesamping pada segerombol anak sebayanya yang sudah dijemput oleh ayah mereka. Beberapa mobil mewah terlihat berjejer rapi di halaman sekolah. Iri? Boruto sudah merasakan itu sejak tau bahwa ia menjadi anak yang kurang beruntung. Boruto lahir tanpa memiliki seorang ayah. Bagaimana rupa dan namanya Boruto tak pernah mengenali sosok ayahnya. Bertanya pada sang ibu sudah kerap kali Boruto lakukan. Bukan jawaban, ibunya hanya tersenyum dan setelah Boruto menghilang maka Hinata akan menangis.

"Lihat! Si anak haram belum pulang" tutur salah seorang anak berambut merah diiringi cekikikan tawa teman-temannya.

Boruto mengeratkan pegangan pada tas sekolahnya, ia sudah terbiasa dengan panggilan itu. Hanya karena tak memiliki orang tua lengkap dan lahir dari keluarga sederhana, Boruto dan Hinata dipandang hina. Kerap kali Boruto mendengar bagaimana ibunya di cap sebagai wanita murahan. Sejak kecil kepala Boruto sudah dipenuhi dengan kosakata negatif orang sekitar.
Menangis? Tidak, Boruto selalu ingat perkataan mamanya bahwa ia harus tutup telinga atas omongan masyarakat disana.

Boruto menengadahkan kepalanya ke atas, awan mendung masih menyelimuti langit biru. Dipandanginya begitu lama, dada bocah itu terasa sesak.
"Sekali saja. Aku ingin melihat wajah ayahku dan berjanji akan memukul kepalanya"

Doa yang dari dulu Boruto panjatkan. Ingin sekali memukul kepala ayahnya keras karena membuat sang ibu selalu menangis dan membuat mereka direndahkan.

Boruto melihat sekelilingnya yang mulai sepi, hanya ada segelintir anak yang masih menunggu. Ia berpikir keras dan menimbang antara pulang dengan basah kuyup atau menunggu lama di sekolah.
Boruto tersenyum, mengingat kapan terakhir kali ia bermain hujan. Mengambil kresek untuk membungkus tas sekolahnya, Boruto berinisiatif untuk menerobos hujan.

"Dengan begini buku sekolahku aman" ujarnya gembira menepuk senang tas sekolahnya yang terbungkus rapat.
Sang mama selalu melarang Boruto bermain hujan-hujanan karena alasan kondisi kesehatan. Padahal menurutnya, ia bocah lelaki yang tangguh dan kebal terhadap penyakit.

Anak berumur empat tahun itu berlari gembira menerobos derasnya hujan. Terkadang bersenandung kecil, Boruto terlihat senang tanpa mengingat omongan kasar teman-temannya. Dan jika nanti Hinata marah, Boruto telah menyiapkan seribu alasan untuk diberikan kepada mamanya.
.
.
.
BRAKKKKK...

Suara tas jatuh terlempar setelah melambung tinggi membuat seluruh isinya berhamburan keluar. Mata bocah itu mendelik saat melihat rintik hujan menambah basah buku sekolahnya yang jatuh di genangan.

Boruto hampir saja sampai, namun saat dirinya ingin berbelok mobil mewah berwarna merah menyala dengan kecepatan tinggi tiba-tiba menerjang dan hampir menabraknya.

Beruntung, pemilik mobil itu dengan sigap menarik tuasnya jika tidak seorang anak akan jadi korban kecelakaan.
Mata biru Boruto mulai berair. Bukan karena luka lecet di sekitar lutut dan sikunya tetapi melihat buku dan tasnya telah basah dan kotor akibat genangan air hujan.

"Astaga!!! Kalau mau belok lihat dulu!!" Membanting kasar pintu mobil, lelaki bertubuh tegap dengan stelan jas coklat keluar memaki bocah lelaki.

Wajahnya penuh amarah, rapat kantor yang harusnya berjalan 30 menit lagi terhambat akibat seorang anak yang berlari tanpa aturan.

If Time ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang