21. Gagal

108 22 1
                                    

Jangan lupa tekan ⭐ dan komen yang banyak. Arigatou:)

Happy reading^^

***

Setiap hening yang dibawa sepi sama sekali tidak pernah membuatnya takut. Tetapi, malam itu, ada sesosok penyendiri yang menginginkan kebersamaan.

***

Seperti biasa, Airen tiba di sekolah pagi sekali. Gadis itu langsung mendudukkan diri di bangkunya, lalu memakai earphone dan mendengarkan lagu. Saat ini kelas masih kosong, hanya ada dirinya sendiri.

Mulut Airen bergumam kecil, mengikuti irama lagu. Gadis itu bersenandung. Berharap dengan begitu, pikirannya bisa menenang.

Nihil. Bayangan kejadian semalam tidak mau enyah dari kepalanya.

Kemarin ....

Lai membawa Airen berlari ke mobilnya. Begitu tiba, mereka bergegas masuk dan mobil pun melaju.

Airen menangis. Menangisi keadaannya. Menangisi kelemahannya. Juga ketakutan tidak masuk akal itu. Dia merasa gagal, bahkan ketika baru saja memulai.

Siang itu, Lai membawa adiknya ke tepi danau yang sepi. Mungkin Airen akan merasa semakin sesak jika berada di rumah. Karena itu, boleh jadi ruang terbuka seperti danau bisa menenangkan adiknya.

Lai mengusap kepala Airen, mereka tengah duduk di bangku tepi danau. "Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut."

Airen tidak menggubris ucapan Lai. Gadis itu sibuk memandangi permukaan danau diiringi isakan kecil. Dia hanya merasa kecewa. Dan entah sebenarnya kecewa pada siapa? Terhadap apa?

"Masih ada kesempatan lain, Ai." Lai menggeser duduknya mendekati Airen, meletakkan kepala Airen di bahu kokohnya.

Sungguh, dia ikut merasakan kesedihan Airen. Dadanya turut menyempit hingga membuat sesak. Lai tidak tega melihat Airen yang berkali-kali jatuh di saat gadis itu baru saja ingin berdiri.

"Ai gagal lagi, Kak," lirih gadis itu. "Nggak tau yang keberapa kali." Seteres air jatuh lagi dari pelupuk mata Airen.

Mengapa harus sesakit ini? Mengapa harus sesesak ini? Rasanya Airen ingin meledak menjadi kumpulan debu. Meluapkan semua luka yang bergumpal menjadi titik-titik tak bermakna.

Lai merangkul pundak Airen erat. Tak ia pedulikan seragamnya yang basah karena air mata. Dia hanya perlu menjadi sandaran bagi adiknya, seperti lakonnya selama ini.

Cukup lama mereka menghabiskan waktu di tepi danau. Hingga tak terasa langit tampak menguning. Sebetulnya, sangat menyenangkan menikmati pantulan senja dalam riak air danau begini. Tetapi mereka ingat untuk pulang cepat sebelum Mama Papa tiba di rumah.

"Udah yuk, pulang," ajak Lai dan Airen balas mengangguk.

Keadaan Airen sudah lebih baik ketika mereka sampai di rumah. Namun, begitu melihat mobil Mama dan Papa terparkir di garasi samping rumah, perasaan gadis itu mendadak kacau kembali. Ada setitik rasa takut yang bersemayam.

"Dari mana aja kalian?" tanya Lindya dengan nada tak mengenakkan, bukan nada datar dan dingin. Meski jarang berada di rumah dan kurang interaksi dengan Lai dan Airen, Mama mereka ini tak pernah bersikap seperti itu.

Lai sedikit kesal disambut dengan pertanyaan yang menurutnya tidak penting. Mama dan Papa pasti tahu mereka habis dari mana. Memangnya Lai tidak tahu apa kalau orangtuanya itu selalu menyuruh orang untuk menguntit dirinya dan Airen?! Dia bahkan sudah tahu dari lama.

All You Need Is A Friends [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang