34. Bintang yang Sama

108 13 0
                                    


Mereka mempertanyakan hal yang sama, siapakah yang harus berjuang? Dan siapakah yang harus mundur perlahan?

***

Terkadang, Arru bisa benar-benar merasakan kesepian sebagaimana anak tunggal lainnya. Meski dia punya Dal dan Jia sebagai teman sekaligus tetangga yang kerap kali menemani, tetap saja, kadang kala rasa sepi itu tidak bisa dihindari.

Seperti hari itu, ketika Ayahnya dinas ke luar kota dan Bunda menemani, otomatis Arru akan sendirian di rumah. Bukannya merecoki Jia atau jadi anggota gelap di rumah Dal, Arru justru mempunyai rencana lain.

Ketika malam tiba, dia iseng berjalan-jalan tanpa tujuan. Menyusuri trotoar, melewati taman dan hei, banyak sekali orang di sana. Arru ingat ternyata malam itu adalah malam minggu, pantas saja ramai.

Langkah Arru terhenti begitu dia melihat seseorang di tengah keramaian. Matanya membulat terkejut. Dan percayalah, kejutan itu berupa seorang gadis bernama Airen. Benar, Arru melihat cewek itu di sana. Dalam kondisi terburuk. Kebingungan. Berkaca-kaca. Terlihat ... sesak.

Meski dipenuhi tanya Arru tetap menghampiri Airen. Meski penasaran setengah mati, Arru tetap tersenyum simpul seolah mengatakan semua baik-baik saja. Meski dadanya berdenyut sakit ketika setetes air dari mata hijau di depannya jatuh, Arru tetap memanggil cewek itu.

Arru tahu apa yang Airen butuhkan saat itu. Tak lama kemudian mereka berakhir di tepi danau dan Airen yang berteriak menumpahkan semua beban di pundak. Arru menyaksikan dari jauh. Ah sungguh, potongan memori yang akan selalu Arru simpan baik-baik, tidak boleh usang termakan usia.

Namun untuk malam ini, ketika Arru harus sendiri kembali, dia tidak memiliki rencana apapun. Lelaki itu duduk bersandar di sofa, bergeming bagai robot yang kehabisan baterai. Rasanya aneh melihat cowok itu yang biasanya ribut sekarang jadi diam begitu. Bahkan TV yang ditontonnya malah balik menonton dirinya.

"Lagi ngapain lo? Udah kayak bangke aja!"

Arru terhenyak, cepat-cepat menoleh pada sumber suara. "REGASSS!" pekik Arru, bingkas dari duduk dengan gestur ingin memeluk Regas.

Tetapi cowok berwajah datar itu lebih dulu menahan jidat Arru dengan telunjuk hingga pergerakan Arru terhenti. Regas mendorong telunjuknya sampai Arru kembali duduk di kursi. "Lebay."

"Ih, lo kok bisa ada di sini?"

"Nginep."

"Oh."

"Oh doang?" Regas mengeryitkan alis. Ingat, di sini yang irit bicara itu dirinya bukan Arru.

"Iya, 'oh' buat Kak Regas yang masih jawab pendek-pendek." Arru sengaja menjulingkan mata ketika menyebut 'Kak Regas', mengejek.

Regas mendengus sebelum naik ke lantai dua, tepat ke kamar yang ada di sebelah kamar Arru. Karena Regas sudah sering main ke rumah Arru dan mereka terhitung bersaudara, jadi Regas sudah tidak sungkan lagi menjelajahi rumah sepupunya ini.

"Dih, main tinggal aja," kesal Arru. Cukup lama lelaki itu menunggu Regas kembali turun tapi nyatanya tidak muncul juga. Dia jadi bertanya-tanya apa mungkin Regas sudah tidur?

"Ah elah, ini nggak ada bedanya dong si Regas nginep atau engga. Sama-sama nggak ada yang ngajak ngobrol." Arru kesal sendiri, lelaki itu menghentak naik ke kamar yang Regas pakai.

BRAK!

Arru bahkan tidak perlu repot-repot mengetuk pintu, cukup membantingnya saja. Ternyata benar, Regas sudah tengkurap di atas ranjang. Dengan tidak berperikemanusiaannya, Arru menarik kaki Regas, membuat cowok itu terseret dan jatuh ke lantai.

All You Need Is A Friends [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang