CHAPTER EIGHTEEN

28.8K 1.3K 65
                                    

Seperti rencana awal, aku benar-benar membawa putraku ke bandara. Membeli tiket mendadak dan bersyukur karena penerbangan malam pukul 10 masih sempat ku dapatkan tiketnya.

Saat ini, waktu menunjukan pukul 09.15 malam, masih tersisa waktu untuk menunggu sampai pesawat kami diterbangkan. Aku menunggu sembari duduk bersama putraku.

Putraku menangis tiada henti sejak kami meninggalkan restoran. Hingga suaranya serak, mata dan hidungnya memerah serta wajah yang sembab karena terlalu banyak menangis. Dari semua kejadian yang ku alami malam ini, tangisan putraku lah yang membuat hatiku begitu sakit.

Tak habis pikir bagaimana Raefal bisa setega ini pada kami berdua? Jika dia berselingkuh karena sudah tak cinta lagi padaku, bisa ku pahami. Tapi kenapa dia tetap berselingkuh di saat Raffa ada di antara kami. Menjadi pengikat hubungan kami. Menjadi penguat pernikahan kami.

Mungkinkah dia juga sudah tidak peduli pada putranya sendiri? Tidak memikirkan dampak perbuatannya yang akan sangat berpengaruh pada Raffa. Jika kami akhirnya bercerai, jelas Raffa lah yang akan tersakiti. Anak mana yang senang melihat orangtuanya berpisah bukan? Raefal sepertinya tidak memikirkan sampai sejauh itu.

Ngomong-ngomong soal Raefal, aku melihat dengan jelas dia berlari mengejar taksi kami. Ya, dia berlari di jalanan tak peduli meskipun dirinya menjadi pusat perhatian semua orang. Dia berteriak memanggil namaku dan Raffa. Meski di dalam taksi, suaranya masih terdengar samar-samar.

Diam-diam aku bersyukur dalam hatiku karena dia tidak membawa mobil. Jika dirinya membawa mobil, sudah dipastikan dia akan mengejar kami sampai bandara. Dia tidak mengejar kami dengan menaiki taksi karena di daerah itu sepertinya jarang taksi yang lewat. Karena alasan itu pula aku meminta sopir taksi yang ku naiki, untuk menunggu di luar restoran.

Raefal tak hentinya meneleponku, tentu saja tak ada satu pun teleponnya yang aku angkat. Sebaliknya, aku mereject telepon itu tanpa ragu. Banyak pesan juga yang dia kirimkan hampir ke semua sosial mediaku. Pesan berisi permintaan maaf dan menanyakan di mana aku berada sekarang. Semua pesannya ku abaikan. Akhirnya ku matikan ponselku karena tak tahan dengan gangguannya.

" Mom, Daddy mana?" tanya Raffa dengan suara seraknya yang membuat hatiku sakit saat mendengarnya. Air matanya sudah berhenti mengalir begitu pun dengan isak tangisnya sudah tak terdengar lagi.

" Daddy masih ada urusan di sini. Jadi kita pulang duluan ya." aku menyahut sembari memaksakan diri untuk tersenyum.

" Daddy kenapa lari ngejar taksi kita, Mom? Tadi aku lihat daddy lari-lari ngejar taksi kita."

Aku tersenyum getir saat ini, tak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan putraku yang satu ini.

" Gak apa-apa sayang. Tadi mommy gak lihat." Jawabku bohong.

" Raffa kan udah ngasih tahu mommy. Tapi mommy gak mau turun." Putraku yang cerdas ini menyanggah ucapanku. Aku mengusap rambut legamnya penuh sayang. Berusaha meyakinkan bahwa aku memang tak melihat Raefal mengejar taksi kami.

Anak itu akhirnya mengangguk, mulai mempercayai ucapanku.

" Mommy sama daddy gak berantem kan?" dia bertanya lagi. Sebuah pertanyaan yang lagi-lagi membuatku kehabisan kata. Tak tahu harus mengarang cerita seperti apa lagi agar dia tidak bersedih mengetahui orangtuanya mungkin akan berpisah tak lama lagi.

" Kami gak berantem kok sayang."

" Beneran?" aku mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata kali ini.

" Tante yang sama daddy tadi, siapa mom?"

Dan sungguh kali ini aku tersentak mendengar pertanyaan putraku menyangkut Zanna.

GENIUS LIAR [SUDAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang