CHAPTER TWELVE

23.6K 1.2K 110
                                    

Jika ada yang berpikir aku ketakutan karena tindakanku yang menerobos masuk ruangan ini tanpa permisi dipergoki oleh sang pemilik ruangan, maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Sebaliknya, aku senang dan puas karena sepertinya inilah saat yang tepat untuk membongkar semua kebohongannya.

" Hai ... sayang. Kebetulan kamu dateng. Ini ada telepon buat kamu."

Aku berjalan menghampiri Raefal yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Berpura-pura tersenyum manis di depannya, nyatanya hatiku sedang bersorak senang saat ini. Bisa ku bayangkan bagaimana reaksi terkejut dan panik wanita penggoda itu di seberang sana. Huuh ... sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya secara langsung saat menyadari dia sedang berbicara dengan orang yang salah.

Raefal mengambil ponselnya dari tanganku dengan pandangan matanya yang tertuju lurus padaku. Sekilas dia melirik ke arah layar ponselnya yang menampilkan deretan angka yang merupakan nomor si penelepon, sebelum akhirnya dia tempelkan ponsel itu di telinganya.

Pandanganku tak lepas barang sedetik pun dari sosok Raefal yang melangkah masuk ke dalam ruangannya, membuat jarak sejauh mungkin denganku.

" Meeting-nya baru saja selesai."

Itulah kata-kata Raefal yang tertangkap indera pendengaranku. Sengaja ku pasang telingaku setajam mungkin untuk mendengarkan semua yang dikatakan Raefal pada selingkuhannya.

Sesekali ku dengar dia merespon hanya dengan gumaman. Sejauh ini tak ada kata-kata mencurigakan yang terlontar dari mulutnya. Tentu saja, tidak mungkin dia terang-terangan mengumbar pembicaraan mesra dengan kekasih gelapnya dimana aku berdiri tepat di belakangnya.

" Hasil meeting-nya sama persis seperti yang kita diskusikan tempo hari. Aku akan mengirim orang ke perusahaanmu untuk menjelaskannya secara langsung."

Dari kata-katanya yang terdengar formal dan profesional, bagiku seperti dia sedang berusaha menunjukan padaku bahwa dia sedang berbicara dengan rekan bisnisnya dan bukan dengan wanita simpanannya. Aku tetap memperhatikan sosok Raefal yang berdiri membelakangiku. Tak ku palingkan tatapanku ke arah lain barang sedetik pun, bahkan sosok putraku yang sedang sibuk merapikan alat gambarnya, tak ku pedulikan sama sekali.

Saat aku mengingat kunci brankas miliknya masih berada dalam genggamanku. Aku memanfaatkan posisi Raefal yang sedang berdiri memunggungiku. Aku berjalan perlahan mendekati mejanya, lalu bergegas ku kembalikan kunci itu ke tempatnya semula tanpa sepengetahuan dia.

" OK, sampai jumpa lagi."

Kira-kira itulah kata-kata terakhirnya yang ku dengar sebelum Raefal memutus sambungan teleponnya. Dia melempar pelan ponsel itu ke atas meja, membuatku yang memang sedang berdiri tepat di depan mejanya, sedikit berjengit kaget. Lalu dia berbalik badan dan menatapku cukup tajam.

" Kenapa gak bilang-bilang kalau mau ke sini?" tanyanya. Aku mendengus sembari mengangkat kedua bahuku, sebagai ungkapan tersirat bahwa aku sama sekali tak terintimidasi dengan tatapan tajamnya.

" Oh ... jadi sekarang aku harus bilang-bilang dulu kalau mau mengunjungi suamiku sendiri di tempat kerjanya? Kok aku ngerasa diperlakukan kayak tamu ya sekarang?"

Raefal mengurut pangkal hidungnya begitu sahutanku terlontar keluar dari mulutku.

" Bukan gitu maksudnya, aku cuma kaget aja lihat kalian tiba-tiba ada di ruangan ini. Biasanya kan kamu suka ngabarin dulu kalau mau ke sini."

" Aku gak ada niat mau ke sini kok awalnya. Raffa yang merengek minta ke sini." Kataku, tak berbohong sedikit pun karena nyatanya kami terdampar di sini sekarang karena memang Raffa yang memintanya.

GENIUS LIAR [SUDAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang